Jakarta (ANTARA News) - Rendahnya pemahaman soal Pancasila oleh pejabat pembuat Undang-Undang (UU) menjadikan proses pembuatan dan hasil UU menjadi lemah.

Pendapat tersebut dikemukan oleh pimpinan Tim Kerja Sosialisasi MPR RI, Ahmad Basarah, di Jakarta, Senin.

"Mayoritas pejabat pembuat UU telah kehilangan pedoman memahami tafsir Pancasila sebagai sumber hukum. Selama periode 2003-2013 Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan 519 perkara pengujian UU. Dimana sebanyak 133 perkara atau sekitar (26 persen) telah dikabulkan MK," kata Basarah.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP menambahkan, para pendiri bangsa telah menetapkan Pancasila sebagai sumber filsafat, dan jiwa negara Indonesia yang merdeka. Karena itulah, lanjut dia, pembentukan UU tidak hanya harus merujuk UUD 1945 sebagai tapi juga Pancasila segala sumber hukum pembentukan undang-undang.

"Perlu memastikan nilai-nilai Pancasila dijadikan sumber dalam pembentukan peraturan undang-undang di Indonesia," pungkasnya.

Sementara itu, peneliti Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono saat meluncurkan buku

"Perkembangan Pembentukan Undang-Undang di Indonesia" di DPR RI mengatakan, reformasi regulasi diharapkan menjadi prioritas kerja utama DPR RI periode 2014-2019 termasuk presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo - Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Dengan demikian, kualitas undang-undang (UU) dapat meningkat.

"Agar kualitas UU dapat meningkat yang pada akhirnya akan menjamin kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan, maka DPR baru Jokowi-JK harus menempatkan pembenahan kinerja legislasi atau reformasi regulasi sebagai salah satu prioritas kerja utama.

Jika tidak, maka pemborosan anggaran pembentukan UU akan turut mendorong defisit APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) di samping subsidi BBM (bahan bakar minyak) seperti yang terjadi saat ini," katanya.

Ia mengusulkan beberapa langkah reformasi regulasi dalam pembuatan UU antara DPR RI dan pemerintahPertama, perbaikan perencanaan pembentukan UU melalui program legislasi nasional (Prolegnas).

Kedua, meningkatkan kerangka kelembagaan dan kapasitas untuk UU yang lebih baik. Ketiga, peningkatan kualitas pembentukan UU dengan memperkuat dan meningkatkan penilaian dampak peraturan baru.

Keempat, perbaikan proses konsultasi masyarakat dalam pembentukan UU. Kelima, Evaluasi secara rutin terhadap UU yang berlaku.

Keenam, memanfaatkan teknologi informasi untuk pengambilan keputusan mengenai pembentukan UU, dan penyebarluasannya di semua tingkat pemerintahan dan masyarakat.

Dari 68 RUU Prolegnas 2014, sekitar 21 RUU dapat dikualifikasi tidak layak diatur oleh UU. Misalnya, RUU Kesehatan Jiwa, RUU Pengawasan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan RUU tentang Tabungan Perumahan Rakyat.

"Ke depan pengetatan syarat dengan penggunaan sejumlah kriteria bagi RUU yang akan lolos masuk Prolegnas menjadi kunci untuk menghentikan jumlah RUU prioritas yang selalu besar, dan di lain sisi memastikan agar UU yang dihasilkan lebih memiliki kualitas. Idealnya kekuatan pembahasan RUU di DPR jika dihitung rata-rata adalah sekitar 19-20 RUU per tahun, di luar RUU daftar kumulatif terbuka," tegas dosen Fakultas Hukum Universitas Jember ini.

Dia mengemukakan, sejak. DPR RI periode 1999-2004, 2004-2009, 2009-2014, kinerja legislasi DPR bersama dengan presiden masih mengecewakan baik aspek kuantitas maupun kualitas.

"DPR salah memahami bahwa kekuasaannya dalam pembentukan UU adalah tanpa batas sepanjang mendapat persetujuan bersama dengan Presiden (paham kekuasaan belaka). Pembentukan UU juga dimaknai hanya menjadi kepentingan DPR dan Presiden semata," ucapnya.

Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014