Dari program tersebut, diperoleh data bahwa antibiotik ikut menjadi salah satu sampah obat yang diterima. Fakta tersebut perlu menjadi perhatian, khususnya dikaitkan dengan ancaman AMR
Jakarta (ANTARA) - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI menegaskan pentingnya seluruh pemangku kepentingan terkait dalam penggunaan antimikroba secara tepat untuk mengendalikan kejadian resistansi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR) di Indonesia.
Kepala BPOM Taruna Ikrar melalui keterangan di Jakarta, Sabtu mengatakan bahwa resistansi antimikroba merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan masyarakat global dan pembangunan, di mana data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa resistansi antimikroba secara langsung bertanggung jawab atas 1,27 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2019 dan berkontribusi terhadap 4,95 juta kematian.
Baca juga: BPOM Pecahkan Rekor MURI Ikrar Pengendalian Resistensi Antimikroba, Ingatkan Bahaya Silent Pandemic
"Data hasil pengawasan BPOM menunjukkan bahwa sarana pelayanan kefarmasian (apotek) yang melakukan penyerahan antimikroba, khususnya antibiotik, tanpa resep dokter dari tahun 2021—2023 berturut-turut berjumlah 79,57 persen; 75,49 persen; dan 70,75 persen. Walaupun trennya menurun, namun tetap perlu kita waspadai karena rerata nasional penggunaan antibiotik tanpa resep dokter masih terbilang tinggi," katanya.
Taruna menekankan penyebab munculnya resistansi antimikroba di antaranya adalah penggunaan yang salah/berlebih, kontaminasi lingkungan, transmisi di fasilitas kesehatan, diagnostik cepat yang tidak optimal, vaksinasi yang tidak optimal, obat substandar dan palsu, perjalanan, serta administrasi obat massal untuk kesehatan manusia.
Di samping itu, lanjutnya, hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah pola pengobatan sendiri (swamedikasi) yang tidak tepat sehingga menyebabkan adanya sisa obat yang disimpan dan akhirnya dibuang sembarangan.
Pada 2019, jelas Taruna, BPOM telah mencanangkan program Ayo Buang Sampah Obat dengan Benar (ABSO dengan Benar) di 15 provinsi dengan melibatkan 1.000 apotek untuk mengelola sampah obat dari masyarakat.
"Dari program tersebut, diperoleh data bahwa antibiotik ikut menjadi salah satu sampah obat yang diterima. Fakta tersebut perlu menjadi perhatian, khususnya dikaitkan dengan ancaman AMR," ujarnya.
Baca juga: BPOM temukan 55 kosmetik berbahaya selama November 2023-Oktober 2024
Taruna mengungkapkan imbas dari adanya resistansi antimikroba menyebabkan infeksi biasa seperti pneumonia, tuberkulosis, atau infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh bakteri resistan dapat menjadi sangat sulit atau bahkan tidak bisa diobati.
"Dampaknya juga terhadap sektor ekonomi. Infeksi yang lebih lama dan lebih sulit diobati meningkatkan biaya perawatan kesehatan, termasuk biaya rumah sakit, perawatan intensif, dan obat-obatan. Selain itu, juga berdampak pada penurunan produktivitas kerja akibat meningkatnya angka kecacatan dan kematian akibat AMR," jelasnya.
Sejalan dengan Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (RANPRA) 2020-2024 dan Rencana Aksi Nasional tahun 2025-2029 yang masih dalam proses penyusunan, BPOM bersama pemangku kepentingan terkait kembali menggalang komitmen dalam memerangi resistansi antimikroba.
Penggalangan komitmen ditandai dengan pengucapan bersama Ikrar Komitmen Pengendalian Antimikroba. Ikrar ini tercatat pada Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai Ikrar Terbanyak.
"Ikrar AMR ini saya harap bukan hanya sekadar janji, tapi dapat menjadi pemacu kita bersama untuk meningkatkan komitmen, semangat, dan motivasi untuk secara konsisten berperan aktif dalam pengendalian AMR," tutur Taruna Ikrar.
Baca juga: Kepala BPOM jelaskan upaya mendukung visi Astacita
Pewarta: Sean Filo Muhamad
Editor: Sambas
Copyright © ANTARA 2024