Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitus(MK)i menolak permohonan uji materi terkait gaji pokok serta tunjangan bagi dosen dan tenaga kependidikan, termasuk dari perguruan tinggi swasta (PTS), dibayarkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXI/2023 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Jumat.

Uji materi tersebut dimohonkan oleh Dosen Fakultas Hukum Universitas Krisna Dwipayana Teguh Satya Bhakti dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid.

Kedua pemohon menguji konstitusionalitas Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang berbunyi: “Badan penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memberikan gaji pokok serta tunjangan kepada dosen dan tenaga kependidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut para pemohon, frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dalam pasal diuji menimbulkan ketidakpastian hukum, sebab tidak menyebutkan dengan jelas jenis peraturan perundangan-undangan yang dimaksud.

Selain itu, para pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 70 ayat (3) UU 12/2012 tidak dapat menjamin bahwa pemberian gaji pokok serta tunjangan oleh badan penyelenggara kepada dosen dan tenaga kependidikan dapat dipenuhi secara layak dan optimal.

Oleh sebab itu, dalam petitumnya, pemohon meminta kepada MK agar pasal tersebut diubah menjadi: “Badan penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memberikan gaji pokok serta tunjangan kepada dosen dan tenaga kependidikan yang dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD.

Terkait dalil para pemohon, MK menjelaskan bahwa Pasal 31 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 mewajibkan pemerintah untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD.

Sekalipun anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen tersebut seharusnya diprioritaskan kepada pendidikan dasar, tetapi pemerintah dalam praktiknya juga mengalokasikan untuk pendidikan tinggi.

Dalam hal ini, bagi perguruan tinggi negeri (PTN), alokasi anggarannya digunakan untuk biaya operasional, dosen dan tenaga kependidikan, serta investasi dan pengembangan.

Sementara itu, bagi PTS, alokasi anggaran digunakan sebagai bantuan tunjangan profesi dosen, tunjangan kehormatan profesor, serta investasi dan pengembangan. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 89 UU 12/2012.

“Berdasarkan hal tersebut di atas, telah tampak dengan jelas bahwa alokasi anggaran untuk PTS juga digunakan untuk tunjangan profesi dosen dan tunjangan kehormatan profesor. Bahkan, pemerintah juga menempatkan dosen yang berstatus ASN di sejumlah PTS tertentu,” kata Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah membacakan pertimbangan hukum MK.

Lebih lanjut, Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada intinya menyatakan gaji dosen yang diangkat oleh pemerintah dialokasikan dalam APBN.

Adapun, bagi dosen PTS yang diangkat oleh badan penyelenggara PTS, maka gaji dan tunjangan ditentukan berdasarkan perjanjian kerja antara dosen yang bersangkutan dan badan penyelenggara PTS yang tunduk pada peraturan perundang-undangan, termasuk di bidang ketenagakerjaan.

Di sisi lain, setelah mencermati secara saksama norma Pasal 70 UU 12/2012, menurut MK, frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dimaksudkan untuk merujuk norma dalam peraturan perundang-undangan, yakni UU 12/2012, UU 20/2003, serta UU di bidang ketenagakerjaan.

“Sehingga, gaji pokok dan tunjangan yang dibayarkan kepada dosen oleh satuan badan penyelenggara pendidikan PTS sudah termasuk makna yang dimaksudkan dalam frasa 'sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan' sebagaimana yang didalilkan oleh para pemohon,” kata Guntur.

Oleh sebab itu, MK menyimpulkan dalil permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Baca juga: MK tegaskan KPK berwenang usut korupsi militer hingga putusan inkrah
Baca juga: MK: Jangka waktu PKWT paling lama lima tahunBaca juga: Guru honorer persoalkan pasal penataan non-ASN ke MK

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024