Beirut (ANTARA) - Di saat perjanjian gencatan senjata antara Lebanon dan Israel mulai diberlakukan pada Rabu (27/11), Jihad Nasrallah, bersama ribuan pengungsi Lebanon lainnya, tidak menyia-nyiakan waktu.
Sebelum matahari terbit, mereka mengumpulkan barang-barang mereka dan memulai perjalanan yang telah lama dinantikan untuk kembali ke rumah mereka di Lebanon selatan.
Jalan-jalan dipenuhi oleh para pengungsi yang ingin pulang. Wajah mereka menunjukkan perpaduan antara kegembiraan dan kesedihan yang belum sirna.
Banyak dari mereka telah mengungsi selama lebih dari satu tahun, dan kepulangan mereka ditandai dengan kebahagiaan karena dapat memiliki kembali rumah mereka sekaligus kesedihan akibat kerugian panen, hancurnya properti, dan tewasnya orang-orang terkasih selama konflik.
"Para pengungsi hampir tidak bisa tidur, dengan penuh semangat menunggu fajar. Ada air mata kegembiraan saat orang-orang mengucapkan selamat tinggal kepada satu sama lain, dan klakson mobil bergema sebagai bentuk perayaan," kata Jihad kepada Xinhua.
Di Desa Kfarhamam di sebelah tenggara Lebanon, sebagian besar pengungsi yang kembali ke rumah mereka telah kehilangan tempat tinggal akibat pengeboman Israel. Namun, penduduk desa tidak terpengaruh karena prioritas mereka adalah tidak lagi mengungsi dan kembali ke kampung halaman mereka, menurut seorang pemuda bernama Hassan Abdul Karim.
"Mengungsi adalah hal yang tidak adil, memalukan, dan sangat meresahkan. Kami lebih suka tinggal di tenda-tenda di atas reruntuhan rumah kami daripada harus tinggal di aula sekolah, berdesakan dengan lima sampai delapan keluarga lainnya. Jadi kami pulang, membawa kasur dan selimut di atap mobil kami," kata Abdul Karim kepada Xinhua.
Tentara Lebanon bergerak saat fajar menyingsing, mengerahkan buldoser dan truk untuk memperbaiki jalan-jalan yang rusak akibat serangan udara di Lembah Bekaa dan Lebanon selatan. Sementara itu, para anggota Pasukan Keamanan Dalam Negeri Lebanon mengatur lalu lintas di persimpangan-persimpangan utama, sementara tim medis dari Palang Merah Lebanon dan Otoritas Kesehatan Islam menempatkan diri di pintu-pintu masuk kota untuk menangani keadaan darurat.
Di Kota Baalbek di bagian timur dan desa-desa di Bekaa bagian barat, termasuk Machghara, Sohmor, dan Yohmor, para pengungsi yang kembali mendapati rumah dan infrastruktur yang hancur akibat serangan udara bertubi-tubi.
Namun, tidak semua orang bisa kembali. Mereka yang berasal dari desa-desa di sepanjang perbatasan Israel-Lebanon terpaksa harus menunggu karena Israel memperingatkan agar mereka tidak kembali hingga pasukannya selesai menarik diri.
Fatima al-Ahmad, yang mengungsi dari desa perbatasan Wazzani, tetap berada di pasar Khan dengan ternaknya, menunggu izin dari tentara Lebanon.
"Kami senang dengan gencatan senjata ini, tetapi kami tidak bisa kembali hingga pasukan Israel meninggalkan desa kami. Kami akan tetap tinggal dengan ternak kami, kira-kira 3.000 ekor domba, di pasar Khan, menunggu instruksi dari tentara Lebanon, yang akan memberi tahu kami tentang waktu kepulangan kami," kata Fatima kepada Xinhua.
Bagi mereka yang berhasil pulang, tantangan masih belum berakhir. Di Desa Habbariyeh di bagian selatan Lebanon, Riad Issa menggambarkan perjuangan berat yang menanti mereka setelah kembali ke rumah.
"Membangun kembali rumah, menanami kembali lahan, dan memulihkan kehidupan di desa kami merupakan tugas yang sangat penting, terutama dengan sumber daya yang terbatas dan krisis ekonomi yang sedang berlangsung," ujar Issa.
Namun, tantangan yang paling berat adalah pemulihan emosional.
"Kami dapat membangun kembali apa yang telah hancur, tetapi kehilangan orang yang dicintai serta ingatan tentang perang dan pengungsian akan tetap terpatri di benak kami selamanya," ujar Issa.
Penerjemah: Xinhua
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2024