Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi(MK) memutuskan bahwa Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) disusun berdasarkan kebijakan energi nasional dan ditetapkan oleh pemerintah pusat setelah mendapat pertimbangan DPR RI.

Hal tersebut merupakan pemaknaan baru MK terhadap Pasal 7 ayat (1) dalam Pasal 42 angka 5 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU 6/2023), sebab Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan uji materi Perkara Nomor 39/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan oleh sejumlah serikat pekerja di bidang energi.

“Amar putusan, mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan di Ruang Sidang Pleno MK RI, Jakarta, Jumat.

Pasal 7 ayat (1) dalam Pasal 42 angka 5 UU 6/2023 merupakan perubahan atas Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (UU 30/2009). Pada pokoknya, perubahan ini menghilangkan kewenangan DPR dalam penyusunan RUKN.

Semula, Pasal 7 ayat (1) UU 30/2009 mengatur bahwa, “RUKN disusun berdasarkan pada kebijakan energi nasional dan ditetapkan oleh pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR RI”.

Kemudian, pada Pasal 7 ayat (1) dalam Pasal 42 angka 5 UU 6/2023, ketentuan tersebut berganti menjadi, “RUKN disusun berdasarkan kebijakan energi nasional dan ditetapkan oleh pemerintah pusat.

MK menjelaskan, RUKN merupakan rencana pengembangan sistem penyediaan tenaga listrik yang meliputi bidang pembangkitan, transmisi, dan distribusi tenaga listrik yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik.

Menurut MK, dengan dihapuskannya frasa “setelah berkonsultasi dengan DPR RI”, menandakan bahwa peran pemerintah menjadi sangat sentral dalam RUKN. Padahal, listrik sebagai salah satu cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.

MK berpendirian bahwa frasa dikuasai negara mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Dalam hal ini, konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat.

“Dalam konteks prinsip kedaulatan rakyat, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara,” kata Wakil Ketua MK Saldi Isra membacakan pertimbangan hukum Mahkamah.

Pada dasarnya, menurut Mahkamah, norma Pasal 7 ayat (1) dalam Pasal 42 angka 5 UU 6/2023 merupakan bagian dari fungsi pengaturan oleh negara. Adapun fungsi pengaturan oleh negara tersebut, tegas MK, dilaksanakan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan pemerintah dan regulasi oleh pemerintah.

Lebih lanjut, Saldi mengatakan, “Sebagai wujud kedaulatan rakyat dalam pengelolaan tenaga listrik sebagai salah satu cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai oleh negara, keharusan melibatkan DPR makin tidak terelakkan.”

Di samping itu, MK mempertimbangkan bahwa keterlibatan DPR dalam RUKN tidak berupa persetujuan, melainkan pertimbangan. MK memandang, proses untuk mendapatkan pertimbangan lebih sederhana dibandingkan dengan proses mendapatkan persetujuan.

Atas pertimbangan tersebut, MK menyatakan Pasal 7 ayat (1) dalam Pasal 42 angka 5 Lampiran UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “RUKN disusun berdasarkan kebijakan energi nasional dan ditetapkan oleh pemerintah pusat setelah mendapat pertimbangan DPR RI.

Perkara ini dimohonkan oleh Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), Persatuan Pegawai Indonesia Power, Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa Bali, Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, Pertambangan, Minyak, Gas Bumi, dan Umum, Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia ’98, Federasi Serikat Pekerja Pariwisata Reformasi, Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Serikat Pekerja Aqua Group, serta Federasi Serikat Pekerja Indonesia.

Baca juga: Gekanas kawal pembacaan putusan MK terkait UU Ketenagalistrikan
Baca juga: MK hentikan sementara pengujian UU selama adili sengketa pilkada

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024