Jakarta (ANTARA) - Organisasi pemberdayaan perempuan dan perlindungan hak-hak korban kekerasan Srikandi Berkarya mengecam langkah yang diambil oleh Universitas Hasanuddin (Unhas) terkait penanganan dugaan kasus kekerasan seksual di kampus.
Co-Founder Srikandi Berkarya, Anindytha Arsa mengatakan pihaknya mengingatkan pentingnya menciptakan lingkungan yang aman, inklusif dan bebas dari segala bentuk kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan.
"Kami menuntut agar Universitas Hasanuddin menunjukkan komitmen nyata dalam melindungi hak-hak korban dan menegakkan keadilan terutama dalam menggunakan perspektif korban dalam penanganannya. Kasus ini harus menjadi titik balik bagi Unhas dalam menciptakan perubahan dan memperbaiki penanganan kasus kekerasan seksual di masa depan," kata Anindytha Arsa dalam keterangan resminya, Kamis.
Dalam kasus ini, Srikandi Berkarya menilai keputusan Unhas justru melanggengkan kekerasan seksual di kampus. Oleh karena itu, sebagai organisasi yang mendukung keadilan dan perlindungan hak-hak korban, Srikandi Berkarya mendesak beberapa langkah seperti pengusutan tuntas kasus secara berperspektif korban.
Menurut dia, Unhas harus menyelesaikan kasus ini dengan mengutamakan keberpihakan kepada korban, menjamin proses yang adil, transparan, dan bebas dari intervensi yang tidak relevan.
Baca juga: Komnas Perempuan: Penting peran pimpinan kampus lindungi Satgas PPKS
Baca juga: Komnas Perempuan: Perlunya penguatan kapasitas Satgas PPKS
Tuntutan selanjutnya adalah, Srikandi Berkarya menginginkan adanya penerapan sanksi yang sangat tegas kepada pelaku. Pihaknya mendesak agar Unhas memberikan sanksi serius dan setimpal kepada dosen FS atas tindakan pelecehan seksual yang dilakukannya, sesuai dengan peraturan yang ada.
Tidak hanya itu saja, Srikandi berkarya juga menginginkan adanya dukungan pemulihan psikologis bagi korban kekerasan seksual di lingkungan kampus tersebut.
"Organisasi ini juga mendesak agar korban mendapatkan pendampingan psikologis yang cukup untuk pemulihan dan memastikan hak-hak korban dalam mendapatkan perlindungan terpenuhi dengan baik," tulis dia.
Selanjutnya, pihaknya mendesak Unhas untuk mencabut Surat Keputusan Rektor yang memecat Alief Gufran dan mengembalikan statusnya sebagai mahasiswa, mengingat aksi protes yang dilakukannya merupakan bentuk perjuangan untuk keadilan, bukan sebuah pelanggaran.
Untuk diketahui bersama, kejadian tersebut bermula pada 25 September 2024. Dimana, seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) angkatan 2021 melaporkan dugaan pelecehan seksual oleh seorang dosen berinisial FS. Kejadian ini diduga terjadi di ruang kerja dosen.
Meskipun telah dilaporkan kepada Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Unhas, korban merasa kecewa dengan penanganan kasus ini karena merasa diperlakukan tidak adil dan bahkan disudutkan dengan tuduhan bahwa ia berhalusinasi.
Farida Patittingi, Ketua Satgas PPKS Unhas, mengungkapkan bahwa dosen FS telah diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua Gugus Penjaminan Mutu dan Peningkatan Reputasi serta dibebaskan sementara dari tugas pokoknya sebagai dosen hingga dua semester ke depan (hingga 2026).
Terkait pemecatan tidak terhormat terhadap mahasiswa, terjadi ketika Alief Gufran yang merupakan seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya melakukan aksi protes terhadap sanksi skorsing tiga semester yang diberikan kepada FS.
Pemecatan ini didasarkan pada Surat Keputusan (SK) Rektor Unhas nomor 4472/UN4.9.1/KP.08.03/2024 yang dikeluarkan pada 22 November 2024. Alief dianggap melanggar tata tertib kampus dan kode etik mahasiswa serta mencemarkan nama baik institusi.
Baca juga: Unej segera beri sanksi mahasiswa pelaku tindak asusila
Baca juga: Rektor baru UNS komitmen bebaskan kampus dari kekerasan seksual
Pewarta: Chairul Rohman
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2024