Dampaknya para nelayan bisa menangkap benih bening lobster (BBL) dengan rasa aman dan nyaman, karena tidak melanggar peraturan.
Jakarta (ANTARA) - Ketua Koperasi Putra Lautan Deni Triana Putra mendukung penuh kebijakan tata kelola lobster yang diatur dalam Permen Kelautan dan Perikan (KP) Nomor 7 Tahun 2024.
“Dampaknya para nelayan bisa menangkap benih bening lobster (BBL) dengan rasa aman dan nyaman, karena tidak melanggar peraturan,” ujar Deni, di Jakarta, Kamis.
Praktik ilegal penyelundupan BBL, menurut ketua koperasi yang beranggotakan 400 orang ini, memang sangat merugikan nelayan karena mengancam keberlanjutan ekosistem lobster, selain tidak terdata akan mempengaruhi populasi di alam, sehingga menyulitkan pencarian BBL di masa mendatang.
Untuk memerangi praktik penyelundupan, kata Deni lagi, para nelayan saat ini diharuskan menjadi anggota koperasi. Selanjutnya koperasi yang bergerak membantu nelayan mengurus perizinan berusaha, lalu mengajukan penetapan kuota ke dinas perikanan provinsi melalui dinas kabupaten/kota.
Prosedur itu menghasilkan data tangkapan yang akurat dan BBL yang diperdagangkan menjadi jelas asal usulnya. Karena hasil tangkapan dicatat oleh dinas perikanan, dan mendapatkan Surat Keterangan Asal sebagai syarat penjualan benur ke BLU.
Sekretaris Dinas Perikanan Kabupaten Sukabumi Sri Padmoko mengatakan, kebijakan budi daya lobster yang mengatur adanya kegiatan budi daya di dalam dan luar negeri sudah tepat. Karena melegalkan penangkapan benih bening lobster dapat meningkatkan pendapatan nelayan.
“Nelayan tidak perlu takut lagi menangkap BBL, karena sudah legal,” kata Sri Padmoko.
Legalisasi penangkapan benih bening lobster, katanya, menguntungkan banyak pihak, tak hanya sebatas nelayan penangkap, pedagang peralatan penangkapan, pengelola warung makan, hingga pemerintah ikut merasakan manfaatnya. Bagi pemerintah menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Pembudidaya lobster di dalam negeri, menurutnya, juga terbantu, karena banyak nelayan yang kini membesarkan sebagian BBL hasil tangkapan sampai ukuran 30 gram lalu dijual ke pembudidaya di dalam negeri.
“Kekhawatiran tentang penangkapan BBL dapat merusak lingkungan bisa diantisipasi dengan pelepasliaran lobster hasil budi daya,” katanya pula.
Transfer teknologi budi daya lobster modern diakuinya memang penting. Kebanyakan metode budi daya yang dijalankan masyarakat lokal masih konvensional dengan tingkat kematian BBL tinggi. Di samping itu, modal usaha budi daya lobster juga besar.
“Insentif yang diberikan adalah pembudidaya lobster diberi kesempatan untuk menjual BBL untuk dibudidayakan di luar negeri. Tapi dari jumlah BBL yang ditangkap untuk budi daya, 0,01 persen dikembalikan lagi ke alam sesuai dengan persentase survival rate BBL di alam, jadi setiap penangkapan BBL 10.000 ekor wajib melepasliarkan satu ekor lobster siap bertelur. Kewajiban pelepasliaran ini yang harus diawasi dan dikendalikan, sehingga sumber daya lobster tetap terjaga,” ujarnya lagi.
Baca juga: KKP siap resmikan modeling budidaya lobster di Batam
Baca juga: KKP: Budi daya lobster memiliki potensi 53 miliar dolar AS di 2030
Pewarta: Sinta Ambarwati
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024