"Kalau dulu, (bagian tubuh) dibacok, berdarah, patah, terus bisa disambungkan lagi. Kalau sekarang mah cuma disayat-sayat," ujar salah satu pendekar debus Banten, Koko Ernawan (70) di sela penyelenggaraan Festival Debus Banten 2014, di Banten, Sabtu.
Sekalipun tak mengingat sejak kapan terjadi perubahan ini, pendekar yang melatih di perguruan Putera Kusuma Banten ini, mengungkapkan, pengaruh jaman menjadi salah satu alasannya.
"Karena jamannya lain lagi, jaman dulu Bismillah saja bisa terbang, kalau sekarang berubah," ungkapnya.
Hal ini salah satunya ditemukan dalam penyelenggaraan Festival Debus Banten 2014 (Sabtu, 23/8)).
Para peserta dari berbagai perguruan di Kawasan Banten sekalipun hanya sebatas menggoreskan lidah atau lengan sekalipun tetap menggunakan golok. Selain itu, mereka juga menampilkan atraksi menusuk lidah menggunakan kawat sekitar 50 sentimeter, mengikat perut menggunakan kawat berduri, serta permainan api.
Plt Gubernur Banten, Rano Karno, pernah mengungkapkan, atraksi debus kategori berat salah satunya memotong anggota tubuh sengaja tidak ditampilkan untuk menghindari insiden kecelakaan selama festival berlangsung.
Sementara itu, Koko mengatakan, debus pada mulanya merupakan beladiri yang kemudian berkembang menjadi kesenian.
Saat ini, atraksi debus dapat dimainkan untuk berbagai kepentingan, semisal untuk perlombaan, bagian dari pesta atau hajatan, hingga mengobati orang.
"Awalnya debus itu untuk beladiri bisa untuk kesenian bisa. Tergantung perlunya yang bisa dilaksanakan. Untuk mengobati bisa, untuk hiburan bisa, untuk pesta-pesta bisa," ujar Koko. (*)
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014