Istanbul (ANTARA) - Ketika KTT Iklim COP29 di Baku, Azerbaijan berakhir, berbagai suara kekecewaan terdengar di seluruh dunia, seperti kritikan para pakar dan advokat terhadap kesepakatan yang dinilai jauh dari cukup untuk menghadapi ancaman terbesar bagi umat manusia.
Dalam konferensi yang dihadiri hampir 200 negara tersebut, negara-negara maju menetapkan target baru untuk menggalang setidaknya 300 miliar dolar AS (sekitar Rp4,7 kuadriliun) per tahun bagi negara berkembang hingga tahun 2035.
Target ini merupakan bagian dari total pendanaan iklim sebesar “setidaknya 1,3 triliun dolar AS (sekitar Rp20 kuadriliun) pada 2035,” yang akan dikumpulkan melalui berbagai sumber, termasuk pembiayaan publik serta perjanjian bilateral dan multilateral.
Namun, para ahli dan pejabat dari negara berkembang serta negara-negara rentan mengecam janji baru ini sebagai “pengkhianatan” dan “lelucon”, serta menekankan bahwa jumlah tersebut jauh dari kebutuhan mendesak negara-negara terdampak.
Sementara itu, beberapa pihak mengakui kelemahan kesepakatan tersebut, tetapi memandangnya sebagai “pencapaian politik maksimal” yang realistis saat ini.
Pengkhianatan terhadap kalangan paling rentan
Hasil KTT iklim PBB ini adalah “keputusan paling tidak berimbang yang pernah ada,” kata Iskander Erzini Vernoit, salah satu pendiri dan direktur Imal Initiative for Climate and Development, sebuah lembaga pemikir di Maroko.
“Kesepakatan ini adalah pengkhianatan terhadap mereka yang paling rentan, terhadap Perjanjian Paris, dan terhadap logika umum,” ujarnya kepada Anadolu.
Vernoit menjelaskan bahwa teks kesepakatan ini sepenuhnya dirancang berdasarkan posisi negara maju, yang menjadi pukulan telak bagi negara berkembang dan kepentingan Selatan Global.
Kesepakatan ini, lanjutnya, merepresentasikan kemunduran karena target pendanaan tidak lagi hanya melibatkan negara maju yang mendanai negara berkembang, melainkan menjadi target kolektif di mana negara maju hanya memimpin.
“Ini adalah pukulan besar terhadap prinsip keadilan dan tanggung jawab bersama tetapi berbeda,” tegasnya.
Ia juga menyoroti kekecewaan besar dari para negosiator negara-negara Selatan Global yang merasa sangat dirugikan oleh keputusan ini.
“Negara-negara maju berhasil lolos dengan jumlah dana yang sangat tidak memadai, memastikan bahwa negara-negara berkembang harus menanggung sebagian besar biaya perubahan iklim sendiri,” ujarnya.
Selain itu, bahasa dalam kesepakatan itu dianggap tidak jelas terkait kualitas pendanaan, yang berpotensi berujung pada pinjaman dengan suku bunga pasar.
Vernoit juga mengkritik jangka waktu target pendanaan, mengingat dunia menghadapi “dekade krusial hingga 2030,” sehingga target pada 2035 dianggap “terlalu terlambat.”
“Angka 300 miliar dolar AS ini bahkan tidak mendekati kebutuhan aktual negara berkembang, yang setidaknya mencapai lebih dari 1 triliun dolar AS per tahun (sekitar Rp15 kuadriliun),” tambahnya.
Konsekuensi dari kesepakatan ini, menurut Vernoit, akan dirasakan selama bertahun-tahun mendatang.
Capaian politik maksimal
Chris Aylett, peneliti di Environment and Society Center di Chatham House, menyebut jumlah dana yang disepakati sebagai “jauh dari yang dibutuhkan.”
“Angka 300 miliar dolar AS itu mengulangi kelemahan target sebelumnya sebesar 100 miliar dolar AS, dengan menggabungkan semua sumber pendanaan ke dalam satu keranjang, tanpa membedakan hibah publik dari pinjaman pasar yang memiliki implikasi sangat berbeda bagi negara penerima, terutama yang sudah memiliki beban utang,” jelasnya.
Meskipun mengecewakan, Aylett mengatakan kesepakatan tersebut seharusnya tidak mengejutkan negara berkembang.
“Pendanaan telah lama menjadi batu sandungan utama dalam negosiasi iklim internasional, dan tidak ada indikasi bahwa hal itu akan terselesaikan dengan baik di COP29,” ujarnya.
Salah satu alasan utama adalah negara-negara maju, yang tengah menghadapi masalah ekonomi domestik, menyadari bahwa Amerika Serikat (AS), negara yang seharusnya memberikan kontribusi terbesar berdasarkan emisi historis, kemungkinan besar tidak akan menyumbang sama sekali.
“Dari perspektif ini, kesepakatan tersebut merepresentasikan capaian politik maksimal,” tambahnya.
Langkah signifikan
Chris Hilson, profesor di Universitas Reading, menilai dana yang dijanjikan sebagai “realistis” mengingat kondisi negara maju yang menghadapi kenaikan biaya hidup dan meningkatnya pengaruh populis sayap kanan.
“Para kandidat populis semakin terlihat dalam pemilu nasional, seperti di Rumania baru-baru ini, serta Donald Trump di AS,” ujar Hilson, yang merupakan pakar hukum iklim dan lingkungan.
Menurutnya, meskipun angka 300 miliar dolar AS itu tidak cukup untuk memastikan transisi yang adil, angka tersebut tetap lebih baik dibandingkan target sebelumnya sebesar 100 miliar dolar AS.
Michael Wilkins, profesional keuangan berkelanjutan di Imperial College, menyebut angka baru ini sebagai “langkah signifikan ke depan.”
“Walaupun pendanaan publik yang dijanjikan jauh dari triliunan dolar yang dibutuhkan negara-negara miskin dan rentan, ini tetap merupakan peningkatan signifikan dari 100 miliar dolar AS per tahun yang dijanjikan 15 tahun lalu di Kopenhagen,” katanya.
Wilkins juga menekankan pentingnya kontribusi dari sektor keuangan swasta yang tidak boleh diremehkan, seperti kapitalisasi untuk mendukung transisi ke energi terbarukan.
Ia menambahkan bahwa pasar karbon, meskipun sering dikritik, dapat berkontribusi secara signifikan terhadap aliran pendanaan iklim jika dikelola dengan baik.
Namun, Aylett dari Chatham House memiliki pandangan berbeda, memperingatkan bahwa kesepakatan tentang aturan pasar karbon internasional dapat membuka pintu bagi peningkatan pengimbangan karbon, yang berpotensi menggantikan pengurangan emisi yang sebenarnya.
Ia juga menyoroti tidak adanya referensi terkait bahan bakar fosil dalam teks akhir COP29, yang dianggap sebagai kemunduran dalam momentum transisi energi yang sebelumnya terbangun.
Secara keseluruhan, Aylett menilai menyebut COP29 sebagai “bencana” terlalu berlebihan, tetapi mengakui bahwa hasil itu mencerminkan kebutuhan akan pendekatan baru dalam negosiasi iklim internasional.
“Ekonomi global secara bertahap berubah ke arah energi terbarukan dan menjauh dari bahan bakar fosil. Yang perlu dilakukan COP di masa depan adalah memastikan proses ini berlangsung lebih cepat dan lebih adil,” tutupnya.
Sumber: Anadolu
Baca juga: BPK: Pendanaan untuk aksi iklim harus dapat diukur dan dilacak
Baca juga: Pakar: Negara berkembang perlu pendanaan iklim yang tak bebani ekonomi
Penerjemah: Primayanti
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2024