masyarakat juga perlu memahami bahwa quick count bukan hasil akhir dan polling bukan prediksi mutlak
Jakarta (ANTARA) - Dalam setiap penyelenggaraan Pilkada, quick count dan polling selalu menjadi sorotan utama. Dua metode ini memainkan peran strategis dalam memberikan gambaran cepat tentang persaingan kandidat pemilu.
Namun, efektivitas keduanya dalam konteks Pilkada 2024 membutuhkan analisis yang mendalam untuk memastikan bahwa dua hal ini benar-benar berfungsi sebagai alat demokrasi yang mendukung proses transparansi dan akuntabilitas.
Quick count, atau hitung cepat, dilakukan dengan metode statistik melalui penghitungan sebagian kecil hasil suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang dipilih secara acak. Metode ini dirancang untuk merepresentasikan hasil akhir secara keseluruhan.
Selain quick count, ada juga istilah real count yakni metode perhitungan resmi yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdasarkan penghitungan suara secara manual dari setiap TPS di seluruh Indonesia (bukan sampel).
Ada pula exit poll yakni survei yang dilakukan terhadap pemilih setelah mereka keluar dari TPS, dengan menanyakan pilihan mereka secara langsung.
Ketiga metode ini saling melengkapi untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif terkait hasil pemilu.
Di sisi lain, ada polling yang lebih bersifat prediktif untuk menggambarkan preferensi masyarakat sebelum pemilu berlangsung.
Baik hitung cepat maupun polling secara umum memiliki landasan ilmiah yang kuat, namun kualitas hasilnya juga tergantung pada jumlah sampel dan tehnik pengambilan sampel di lapangan.
Dalam praktiknya Statistisi Ahli Madya BPS DKI Theresia Parwati meminta masyarakat agar tetap cerdas untuk bersikap dan mengawasi proses hitung cepat agar sehingga terjebak pada hasil yang ternyata menyesatkan.
Theresia berpendapat bahwa metodologi memainkan peran penting dalam hitung cepat karena di dalamnya memuat cara pengambilan sampel unit dan teknik terkait pengumpulan data.
Selain metodologi, Theresia juga menyarankan masyarakat untuk senantiasa melihat rekam jejak lembaga survei yang mengeluarkan hasil hitung cepatnya saat pilkada.
Dalam konteks Pilkada 2024, ada tantangan unik bagi metode quick count dan polling karena lanskap politik yang semakin kompleks.
Kompetisi yang ketat di antara kandidat, pengaruh politik identitas, serta tingginya tingkat polarisasi masyarakat menciptakan dinamika yang tidak mudah diprediksi.
Dalam situasi ini, keakuratan quick count dan polling sangat ditentukan oleh integritas metodologi, representasi data, serta keterbukaan lembaga yang melakukannya.
Salah satu kekuatan quick count adalah kemampuannya memberikan gambaran awal yang cepat mengenai hasil pemilu.
Namun, efektivitasnya sering kali diragukan ketika terjadi ketidakselarasan antara hasil quick count dan perhitungan resmi KPU. Bahkan jika terjadi perbedaan yang jauh dari satu lembaga survei dengan lembaga survei lain maka memunculkan kecurigaan di masyarakat.
Meski selisih margin of error biasanya masih dalam batas wajar, perbedaan ini sering dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk membangun narasi delegitimasi hasil pemilu.
Pada Pilkada sebelumnya, beberapa pihak bahkan menuding lembaga survei telah berafiliasi dengan kandidat tertentu, sehingga hasil quick count dianggap bias.
Situasi ini tidak hanya menimbulkan ketidakpercayaan publik, tetapi juga menciptakan kerawanan politik yang berpotensi memperkeruh stabilitas sosial.
Polling, di sisi lain, memiliki tantangan yang berbeda. Meski dilakukan jauh sebelum hari pemungutan suara, polling sering dikritik karena dianggap tidak mampu menangkap perubahan preferensi masyarakat yang sangat dinamis.
Responden polling sering kali hanya merepresentasikan kelompok tertentu, terutama di daerah-daerah yang memiliki keterbatasan akses komunikasi dan informasi.
Selain itu, tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga survei menjadi isu penting. Ketika masyarakat merasa bahwa polling digunakan untuk menggiring opini, hasilnya menjadi kurang relevan sebagai cerminan demokrasi.
Namun demikian, quick count dan polling tetap memiliki peran penting dalam Pilkada. Mereka membantu meningkatkan partisipasi publik, memberikan transparansi, serta menjadi alat untuk mengawasi kemungkinan kecurangan.
Pembelajaran Politik
Dalam konteks demokrasi Indonesia yang terus berkembang, kedua metode ini juga berfungsi sebagai mekanisme pembelajaran politik bagi masyarakat.
Tantangannya adalah bagaimana memastikan bahwa quick count dan polling digunakan secara etis, profesional, dan sesuai dengan standar ilmiah yang berlaku.
Untuk itu, ada beberapa langkah kebijakan yang dapat diambil. Pemerintah perlu memperkuat regulasi terhadap lembaga survei dan penyelenggara quick count.
Pengawasan yang ketat harus dilakukan, termasuk kewajiban bagi lembaga survei untuk mempublikasikan metodologi yang digunakan secara rinci. Hal ini penting untuk memastikan bahwa hasil quick count dan polling dapat diverifikasi secara ilmiah dan transparan.
Di sisi lain, KPU bersama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus meningkatkan edukasi publik mengenai perbedaan quick count, polling, dan perhitungan resmi.
Anggota Bawaslu DKI Jakarta Benny Sabdo pun telah mengingatkan para pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di Pilkada 2024 yang mempunyai kewajiban melakukan pendidikan politik pada masyarakat saat berkampanye.
Kampanye disebutnya sebagai pendidikan politik yang bertanggung jawab kepada masyarakat sehingga para calon ini juga punya kewajiban melakukan pendidikan politik termasuk terkait perhitungan hasil pemungutan suara.
Pada akhirnya masyarakat juga perlu memahami bahwa quick count bukan hasil akhir dan polling bukan prediksi mutlak. Dengan demikian, publik tidak mudah terprovokasi oleh pihak-pihak yang berusaha memanipulasi informasi.
Selanjutnya, perlu ada standar nasional yang jelas terkait margin of error dan tingkat kepercayaan dalam quick count maupun polling.
Standar ini akan menjadi acuan bagi lembaga survei untuk menjaga kualitas dan kredibilitas hasil yang mereka sajikan. Lembaga survei juga perlu memastikan bahwa mereka bebas dari konflik kepentingan politik yang dapat merusak integritas mereka.
Peran media
Kemudian sebagai pilar keempat demokrasi, media massa harus memainkan peran sebagai pengawas independen dalam menyampaikan hasil quick count dan polling kepada publik.
Media perlu mengedepankan prinsip jurnalistik yang objektif, dengan memberikan ruang untuk membedah metodologi yang digunakan oleh lembaga survei.
Selain itu, media harus berhati-hati dalam mengelola ekspektasi publik agar tidak menciptakan kegaduhan pascapemilu.
Akhirnya, efektivitas quick count dan polling dalam Pilkada tidak hanya bergantung pada lembaga survei, tetapi juga pada literasi politik masyarakat.
Edukasi politik yang berkelanjutan harus menjadi prioritas untuk memastikan bahwa masyarakat memahami pentingnya data dan angka dalam proses demokrasi.
Sebab, di balik semua angka yang disajikan, ada tanggung jawab besar untuk menjaga kepercayaan publik terhadap proses pemilu.
Pilkada 2024 merupakan momen penting untuk mengevaluasi sejauh mana quick count dan polling benar-benar mampu mendukung demokrasi yang sehat.
Dengan pendekatan yang tepat dan regulasi yang kuat, keduanya dapat menjadi pilar penting dalam mewujudkan pemilu yang jujur, transparan, dan berintegritas.
Di tengah tantangan politik yang semakin kompleks, sinergi antara lembaga survei, pemerintah, media, dan masyarakat adalah kunci untuk memastikan bahwa quick count dan polling tidak hanya menjadi sekadar angka, tetapi juga simbol kepercayaan terhadap demokrasi.
Copyright © ANTARA 2024