Jakarta (ANTARA) - Seseorang sering menyalahkan diri sendiri, karena selalu memilih jalan yang aman dan mudah, dan merasa bersalah karena menghindari risiko dan bertahan di zona nyaman, masalahnya bukan terletak pada preferensi atau kemalasan, melainkan pada cara otak dirancang.
Dikutip dari The Hindustan Times, Rabu, sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal “Cognitive Psychology” mengungkap bahwa memilih solusi sederhana untuk masalah kompleks memiliki alasan psikologis yang mendalam.
Ada kecenderungan mental untuk memilih pendekatan sederhana dalam menyelesaikan masalah serius dan kompleks, yaitu solusi yang mudah dan cepat tanpa terlalu banyak usaha mental.
Peneliti dari University of Waterloo menunjukkan bagaimana otak manusia dirancang untuk lebih memilih solusi sederhana dan cepat sebagai jalan keluar dari berbagai masalah.
Baca juga: Otak yang bekerja keras dapat lindungi dari persoalan ingatan
Dalam studi tersebut, sebanyak 2.820 peserta diuji melalui tujuh eksperimen. Mereka dihadapkan pada masalah dengan opsi solusi yang sederhana dan rumit.
Hasilnya, hampir semua peserta secara konsisten memilih opsi yang sederhana dan mudah. Ini menunjukkan preferensi bawaan otak terhadap kesederhanaan.
Para peneliti menekankan bahwa kecenderungan ini bukanlah bentuk kemalasan, melainkan cara otak bekerja secara efisien tanpa memperumit keadaan, dengan memilih jalur yang lebih sederhana sebagai solusi.
Solusi sederhana dianggap lebih dapat diandalkan, terpercaya, dan umum, sedangkan solusi rumit seringkali lebih berisiko, tidak terduga, dan membutuhkan upaya otak yang lebih besar sehingga bisa mengurangi efisiensi.
Otak manusia secara alami tertarik pada efisiensi, itulah sebabnya solusi sederhana dan mudah menjadi pilihan utama.
“Penelitian kami menunjukkan bahwa manusia sangat peduli pada efisiensi konsep melakukan lebih banyak dengan usaha yang lebih sedikit dan fokus pada efisiensi ini memengaruhi cara mereka memikirkan penjelasan maupun pencapaian,” kata salah satu penulis studi, Ori Friedman.
Penelitian ini juga menyoroti kemampuan otak manusia untuk mencari efisiensi dengan merampingkan usaha, seperti kata pepatah, "bekerja cerdas, bukan keras."
Baca juga: Guru Besar UI: Neuroglobin berperan tingkatkan kerja otak
Baca juga: Peneliti ungkap COVID-19 dapat sebabkan kerusakan otak
Penerjemah: Putri Hanifa
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2024