Jakarta (ANTARA) - Subsidi energi merupakan salah satu instrumen utama Pemerintah untuk melindungi masyarakat miskin dan rentan dari beban ekonomi yang berat.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa tujuan mulia ini belum sepenuhnya tercapai.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa sekitar 20–30 persen subsidi energi dinikmati oleh kelompok masyarakat yang sebenarnya tidak tergolong miskin maupun rentan. Ironi ini menunjukkan perlunya evaluasi mendalam terhadap kebijakan subsidi energi agar benar-benar mencapai sasarannya.

Pada tahun 2024, Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp435 triliun untuk subsidi energi yang mencakup bahan bakar minyak (BBM), liquefied petroleum gas (LPG), dan listrik. Anggaran amat besar ini bertujuan untuk meringankan beban masyarakat miskin.

Namun, laporan dari PT Pertamina, PT PLN, dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menunjukkan bahwa sebagian besar subsidi justru dinikmati oleh kelompok menengah ke atas. Hal ini menimbulkan urgensi untuk merumuskan ulang mekanisme penyaluran subsidi agar lebih adil dan tepat sasaran.

Pemerintah tengah mengkaji berbagai alternatif kebijakan untuk meningkatkan efektivitas subsidi energi. Salah satu opsi yang sedang dipertimbangkan adalah mengalihkan subsidi produk menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Pendekatan ini dinilai lebih efektif karena dapat langsung menjangkau masyarakat miskin dan rentan, sekaligus meminimalisasi risiko penyalahgunaan oleh kelompok yang tidak berhak.

Alternatif lainnya adalah mempertahankan subsidi produk tertentu atau mengadopsi pendekatan kombinasi antara subsidi produk dan BLT.

Namun, penerapan skema BLT tidaklah bebas dari tantangan. Salah satu kendala utama adalah akurasi data penerima manfaat. Saat ini, Pemerintah masih menggunakan beberapa basis data, seperti Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dari Kementerian Sosial, Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) yang dikelola oleh Bappenas, serta Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) yang berada di bawah Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Ketidakselarasan antara basis data ini sering kali menyebabkan tumpang tindih dalam penyaluran program.

Untuk mengatasi persoalan ini, Presiden Prabowo Subianto telah menugaskan Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai leading sector dalam penyelarasan data subsidi. BPS bertugas menyatukan ketiga basis data tersebut untuk menciptakan data tunggal yang dapat digunakan oleh seluruh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.

Data tunggal ini diharapkan dapat meningkatkan akurasi program penyasaran sekaligus memaksimalkan manfaat subsidi.

Selain itu, keberhasilan reformasi subsidi energi juga memerlukan sistem pemutakhiran data yang responsif dan berbasis teknologi modern. Data penerima manfaat harus diperbarui secara berkala agar mencerminkan kondisi terkini masyarakat sehingga kebijakan subsidi tetap relevan dan efektif.

Penyesuaian harga BBM dan listrik yang menjadi bagian dari kebijakan reformasi subsidi hampir pasti akan memicu inflasi. Pada September 2022, misalnya, Pemerintah menaikkan harga BBM subsidi Pertalite sebesar 30,72 persen dan solar sebesar 32,04 persen. Kenaikan harga BBM ini membuat inflasi pada September 2022 melesat sebesar 5,95 persen (y-on-y).

Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM dan listrik tidak hanya berdampak langsung pada biaya transportasi tetapi juga memengaruhi harga barang dan jasa secara keseluruhan.

Kebijakan penyesuaian harga BBM adalah langkah yang tidak terhindarkan dalam upaya menjaga keberlanjutan fiskal dan mengurangi beban subsidi yang tidak tepat sasaran. Namun, kebijakan ini harus diiringi dengan langkah mitigasi yang kuat untuk melindungi masyarakat miskin dan rentan dari dampak kenaikan harga, salah satunya melalui pemberian subsidi langsung dalam bentuk BLT yang memadai.

Copyright © ANTARA 2024