Jakarta (ANTARA) - Shadow economy atau ekonomi bayangan merupakan aktivitas ekonomi yang tidak tercatat dalam sistem resmi namun tetap berkontribusi pada perputaran ekonomi nasional.
Fenomena ini menimbulkan tantangan serius dalam pengoptimalan penerimaan pajak di Indonesia.
Aktivitas dalam shadow economy di antaranya mencakup perdagangan tanpa izin, usaha informal yang tidak terdaftar, hingga praktik penghindaran pajak. Menurut Schneider (2010), shadow economy mencakup semua aktivitas ekonomi yang sengaja tidak dilaporkan untuk menghindari kewajiban pajak atau regulasi pemerintah.
Di Indonesia, fenomena ini menjadi salah satu penyebab rendahnya rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) yang berkisar antara 9--11 persen dalam beberapa tahun terakhir, jauh di bawah rata-rata negara berkembang yang mencapai 15--20 persen menurut data Bank Dunia pada 2022.
Ketidakmampuan Pemerintah menjangkau shadow economy berarti kehilangan potensi pendapatan pajak yang signifikan.
Persentase shadow economy di Indonesia sepanjang periode tahun 2012 hingga 2018 diperkirakan mencapai 16,83 persen hingga 19,25 persen dari PDB. Secara rata-rata, lima provinsi dengan nilai persentase tertinggi, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Bali, dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Shadow Economy menurut Medina & Schneider (2017) adalah aktivitas ekonomi yang tidak dilaporkan secara resmi atau disembunyikan dari otoritas negara. Biasanya untuk menghindari pajak, regulasi, atau karena sifatnya yang ilegal seperti bisnis informal yang tidak memiliki izin resmi, perdagangan barang ilegal atau tanpa dokumen, penghindaran pajak melalui pencatatan palsu atau tidak melaporkan pendapatan.
Shadow economy berkembang karena beberapa faktor utama, termasuk beban pajak yang tinggi, regulasi yang kompleks, dan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah.
Dampak terhadap penerimaan pajak
Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa pada tahun 2021, potensi kehilangan penerimaan pajak akibat shadow economy diperkirakan mencapai Rp300 triliun.
Aktivitas ini juga memperbesar kesenjangan fiskal, membatasi ruang fiskal Pemerintah untuk pembiayaan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Penelitian yang dilakukan oleh Schneider (2019) memperkirakan bahwa shadow economy di Indonesia mencapai 22--25 persen dari PDB, setara dengan lebih dari Rp3.000 triliun pada 2022. Tingginya angka ini menunjukkan perlunya upaya intensif untuk menekan pengaruh ekonomi bayangan terhadap perekonomian formal.
Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya fenomena ini, di antaranya regulasi yang kompleks dan kurang efisien. Banyak pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) merasa bahwa proses perizinan usaha dan administrasi perpajakan terlalu rumit dan mahal sehingga mereka memilih untuk tetap berada di sektor informal.
Penyebab lain adalah beban pajak yang tinggi. Tingkat pajak yang dianggap memberatkan dapat mendorong individu atau perusahaan untuk mencari cara menghindari kewajiban pajak.
Menurut survei OECD (2020), beban pajak tinggi sering kali menjadi alasan utama penghindaran pajak di negara berkembang.
Kemudian kurangnya literasi pajak dan rendahnya kepercayaan publik. Survei dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan pada tahun 2021 menunjukkan bahwa hanya 40 persen masyarakat memahami pentingnya pajak bagi pembangunan. Kurangnya transparansi penggunaan dana publik juga mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah, yang pada gilirannya mendorong penghindaran pajak.
Shadow economy juga terus tumbuh karena kurangnya kapasitas Pemerintah dalam memantau aktivitas ekonomi secara menyeluruh. Teknologi yang digunakan untuk mendeteksi penghindaran pajak juga masih terbatas dibandingkan dengan negara maju.
Untuk melepaskan diri dari bayangan shadow economy ini, banyak tantangan yang harus dihadapi.
Tantangan yang pertama adalah rasio pajak yang rendah. Pada 2022 misalnya, rasio pajak Indonesia terhadap PDB (tax ratio) tercatat hanya sebesar 9,11 persen, jauh di bawah rata-rata ASEAN (15,1 persen) dan OECD (34,2 persen), menurut data Bank Dunia pada 2023.
Kontribusi sektor informal menjadi tantangan kedua. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2022 mencatat sekitar 57 persen tenaga kerja Indonesia berada di sektor informal, dan sebagian besar tidak tercatat dalam sistem perpajakan.
Hal ini akan bermuara pada tantangan yang ketiga, yaitu adanya potensi pajak yang hilang. Studi yang dilakukan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menunjukkan bahwa Indonesia diperkirakan kehilangan sekitar Rp400 triliun per tahun dari potensi pajak sektor informal dan shadow economy. Karena pengangguran adalah penyebab terbesar shadow economy, maka semakin besar pengangguran, kian besar pula shadow economy.
Copyright © ANTARA 2024