Jakarta (ANTARA) - Era reformasi di Indonesia ditandai dengan adanya peningkatan kualitas demokrasi yang lebih baik dibandingkan dengan era Orde Baru.
Salah satu bentuk upaya peningkatan mutu demokrasi adalah dilaksanakannya pemilihan umum yang melibatkan rakyat secara langsung untuk berkontribusi dalam penentuan kebijakan.
Penerapan konsep desentralisasi di Indonesia menjadikan setiap daerah memiliki otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerahnya, termasuk dalam hal pemilihan umum untuk kepala daerah.
Pemilihan kepala daerah, atau yang dikenal dengan Pilkada, merupakan mekanisme demokrasi yang dilakukan untuk memilih pemimpin daerah. Dalam hal ini, rakyat terlibat secara langsung dengan diberikan hak dan kebebasan untuk memilih calon-calon yang bersaing dalam kontestasi politik.
Pilkada bukan hanya sebagai kontes pemilihan kepala daerah semata, melainkan juga sebagai manifestasi partisipasi politik rakyat dalam menentukan arah dan kebijakan pembangunan daerah. Pilkada merupakan sarana vital untuk mewujudkan demokrasi yang sehat dan berkelanjutan.
Tahun ini ada yang sangat berbeda dalam penyelenggaraan pilkada di Bangka Belitung. Untuk pertama kalinya di provinsi ini terdapat calon tunggal yang melawan kotak kosong di tiga kabupaten/kota di Bangka Belitung.
Ketiga daerah yang memiliki calon tunggal ini meliputi Kabupaten Bangka Selatan, Kota Pangkalpinang, dan Kabupaten Bangka.
Jika dilihat dari sejarah Indonesia, fenomena kotak kosong pertama kali muncul ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang memberikan alternatif penambahan kotak kosong sebagai lawan calon tunggal pada Pilkada 2015. Fenomena ini kemudian terus berulang pada periode-periode selanjutnya, termasuk yang paling banyak terjadi pada tahun 2024 ini.
Apabila ditinjau dari konteks demokrasi, fenomena calon tunggal yang melawan kotak kosong dalam pilkada ini dapat dilihat melalui dua perspektif. Pertama, fenomena ini dapat dipandang sebagai kegagalan sistem demokrasi di Indonesia karena berdampak buruk terhadap masa depan demokrasi, yang tercermin dari minimnya tingkat kompetisi dan terbatasnya pilihan bagi masyarakat untuk memperoleh pemimpin yang potensial bagi daerahnya.
Kedua, fenomena calon tunggal melawan kotak kosong ini menunjukkan adanya koalisi besar, di mana partai-partai berkoalisi menjadi satu, sehingga memberikan ruang yang sangat sedikit bagi calon lain untuk maju.
Adanya calon tunggal yang didukung oleh banyak partai ini dikhawatirkan akan menciptakan kekuasaan terpusat sehingga tidak ada oposisi yang berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan dan pengkritik kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal, dalam setiap pemerintahan yang menerapkan sistem demokrasi, oposisi merupakan bagian terpenting agar dapat memiliki dua sisi yang saling menyeimbangkan dan menghasilkan keputusan serta kebijakan yang benar-benar mengedepankan kepentingan rakyat.
Menurut Merilee S. Grindle dalam karyanya yang berjudul Local Governments that Perform Well: Four Explanations, terdapat empat kriteria yang dapat menjadi tolak ukur keberhasilan pemerintahan di tingkat daerah
Pertama, Competitive Elections, yang menekankan bahwa kondisi ideal pilkada yang dapat menghasilkan pemimpin yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah adalah pilkada dengan persaingan ketat yang diikuti oleh banyak pasangan calon. Persaingan yang ketat dalam kontestasi politik ini dapat menghasilkan pemimpin yang benar-benar dibutuhkan dan dikehendaki oleh masyarakat.
Kedua, Public Sector Entrepreneurship, yang menekankan pentingnya memiliki pemimpin daerah dengan jiwa kewirausahaan tinggi yang dapat mengoptimalkan segala potensi yang ada dalam dirinya dan memanfaatkan peluang yang ada, sehingga dapat meningkatkan performa dalam mobilisasi, koalisi, serta kemampuan untuk membuat pilihan strategis, dan juga dapat menghadapi oposisi masyarakat, apatisme, atau keterbatasan kapasitas.
Ketiga, Public Sector Modernization, yang berkaitan dengan urgensi transformasi organisasi pemerintahan di tingkat lokal. Hal ini menekankan perlunya ide-ide baru dan pelatihan bagi pejabat publik di tingkat lokal untuk memberikan stimulus bagi perubahan kinerja pemerintah daerah.
Keempat, Civil Society Activism, yang menjelaskan bahwa untuk menciptakan pemerintahan daerah yang baik, diperlukan kelompok sosial masyarakat yang dapat memberikan tekanan kepada pemerintah untuk menyediakan layanan yang lebih baik serta memberikan peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan publik yang mengedepankan kepentingan dan kebutuhan masyarakat.
Menghindari kartelisasi
Bangka Belitung, sebagai daerah kepulauan dengan potensi sumber daya alam yang sangat besar, selama bertahun-tahun mengandalkan sektor pertambangan sebagai sumber utama penghasilan.
Kini, daerah ini tengah berfokus menuju era pascaeksploitasi (post-extractivism) dengan meninggalkan sektor pertambangan sebagai mata pencaharian utama dan beralih pada pembangunan yang berkelanjutan.
Oleh karena itu, Bangka Belitung memerlukan pemimpin yang visioner, kompeten, serta memiliki kualifikasi dan kecakapan yang dapat merepresentasikan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Dalam hal ini, pilkada seharusnya menjadi sebuah kontestasi politik yang kompetitif karena hajatan elektoral lokal ini merupakan elemen kunci dalam sistem desentralisasi yang memiliki peran penting untuk memastikan bahwa pemerintahan di tingkat lokal berjalan secara demokratis, representatif, dan berorientasi pada kebutuhan rakyat.
Adanya tantangan serius terhadap demokrasi lokal di Provinsi Bangka Belitung ini membutuhkan langkah-langkah konkret untuk mengatasi implikasi negatif terhadap legitimasi masyarakat dan pelemahan desentralisasi.
Dalam hal ini diperlukan adanya kombinasi reformasi regulasi dengan melakukan penyesuaian ambang dukungan pencalonan yang dapat berbentuk pengurangan ambang batas minimal dukungan partai politik agar dapat mendorong lebih banyak alternatif lain masuk dalam kontestasi.
Penguatan literasi politik masyarakat dan masyarakat madani atau civil society juga merupakan hal yang sangat penting untuk mengatasi implikasi negatif dari fenomena ini sehingga diperlukan adanya edukasi pemilu dan pendidikan demokrasi bagi rakyat serta melibatkan organisasi masyarakat sipil untuk mendidik masyarakat tentang hak dan tanggung jawab mereka dalam proses demokrasi.
Selain itu, penataan ulang atau reformasi partai politik untuk menghindari praktik kartelisasi merupakan poin yang penting. Dalam hal ini, dibutuhkan adanya penguatan demokrasi internal partai yang dapat memastikan bahwa proses seleksi kandidat di internal partai bersifat transparan, kompetitif, dan melibatkan kader-kader terbaik, meningkatkan akuntabilitas keuangan partai untuk mencegah pengaruh kandidat tunggal yang kuat secara finansial, serta mendorong partai politik untuk mengusung kandidat alternatif yang memiliki latar belakang berbeda, termasuk para kader muda dan perempuan.
Dengan menggunakan pendekatan yang holistik, fenomena ini dapat diubah menjadi sebuah peluang untuk memperbaiki kualitas demokrasi lokal dan mendorong partisipasi politik yang lebih luas.
Langkah-langkah yang diambil ini tidak hanya akan memperkuat legitimasi kepala daerah terpilih semata, tetapi juga memastikan bahwa desentralisasi berjalan sesuai dengan tujuan awalnya, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemerintahan yang inklusif dan partisipatif.
*) Marfina Trivinita adalah mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024