Sekitar 80 persen dari lahan yang berhasil dibersihkan telah dimanfaatkan untuk pertanian, sementara sisanya digunakan untuk perumahan dan pembangunan
Siem Reap, Kamboja (ANTARA) - Kamboja berhasil mengubah lahan yang dahulu merupakan ladang ranjau menjadi lahan subur untuk pertanian, urbanisasi, dan pembangunan, membantu membebaskan jutaan orang dari kemiskinan, kata Perdana Menteri Kamboja Hun Manet di Siem Reap pada Senin (25/11).
Dalam pidato pembukaannya di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Siem Reap-Angkor tentang Dunia Bebas Ranjau, Manet mengatakan bahwa perekonomian Kamboja, yang rata-rata laju pertumbuhannya berada di kisaran 7 persen per tahun sebelum pandemi COVID-19, telah tumbuh pesat di atas tanah yang bebas dari ranjau.
"Sekitar 80 persen dari lahan yang berhasil dibersihkan telah dimanfaatkan untuk pertanian, sementara sisanya digunakan untuk perumahan dan pembangunan, termasuk pembangunan infrastruktur penting, guna meningkatkan konektivitas di seluruh negeri, yang memungkinkan ekonomi kita berkembang hingga hari ini," katanya.
"Selain itu, hal ini juga telah memungkinkan jutaan wisatawan mancanegara, termasuk investor, untuk mengunjungi Kamboja."
Manet mengenang bahwa 54 tahun lalu, Kamboja, yang sebelumnya merupakan negeri yang damai, sempat terseret ke dalam konflik geopolitik Perang Dingin, dan negeri yang merupakan tempat berbagai peninggalan megah seperti Angkor Wat ini kemudian mengalami beberapa tragedi memilukan, termasuk serangkaian bom karpet, genosida, dan perang saudara selama puluhan tahun.
"Jutaan nyawa warga Kamboja melayang dan ribuan kilometer persegi tanah Kamboja dipenuhi ranjau darat dan sisa-sisa bahan peledak lainnya," katanya.
Dia mengatakan bahwa meskipun negara kerajaan itu pada akhirnya mencapai perdamaian penuh pada 1998, ranjau darat terus membayangi dan menimbulkan ancaman mengerikan bagi kehidupan manusia dan pemulihan pascaperang.
Dia menambahkan bahwa dengan dukungan kuat dari masyarakat internasional, dari tahun 1992 hingga saat ini, Kamboja telah berhasil membersihkan lebih dari 3.000 kilometer persegi ranjau darat, menghancurkan lebih dari 1 juta ranjau antipersonel dan 3 juta sisa ranjau peninggalan perang.
Jumlah korban jiwa telah turun dari rata-rata 4.300 orang lebih per tahun pada 1996 menjadi kurang dari 100 orang per tahun dalam 10 tahun terakhir, katanya.
"Kita telah mendeklarasikan 15 dari 25 ibu kota dan provinsi sebagai wilayah bebas ranjau," kata Manet.
"Namun demikian, perjalanan kita masih jauh dari selesai. Kita masih punya lebih dari 1.600 kilometer persegi lahan yang terkontaminasi, yang memengaruhi kehidupan sekitar 1 juta orang.".
Pemimpin Kamboja itu mengatakan bahwa negara Asia Tenggara tersebut telah mengubah sejarah tragisnya menjadi pelajaran yang kuat bagi dunia, dengan mengadvokasi pelarangan penggunaan ranjau antipersonel dan menyoroti konsekuensi jangka panjangnya.
"Komunitas antiranjau Kamboja terus berbagi praktik-praktik terbaik kami, mentransfer keahlian yang kami peroleh dengan susah payah kepada pihak-pihak lain yang menghadapi tantangan serupa, seperti Ukraina, Afghanistan, Armenia, Azerbaijan, dan negara-negara anggota ASEAN lainnya," tutur Manet.
Pewarta: Xinhua
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2024