Jakarta (ANTARA) - Indonesia di usia 100 tahun kemerdekaan pada tahun 2045 diperkirakan akan mendapatkan bonus demografi, sehingga diharapkan menjadi negara maju, dengan kualitas hidup dan produktivitas masyarakat yang tinggi.

Usia 100 tahun kemerdekaan RI identik dengan istilah usia emas. Artinya Indonesia akan mencapai satu abad pada 2045. Untuk mencapai visi tersebut, perlu dipersiapkan sejak dini generasi sehat berdaya saing tinggi dan bebas dari berbagai penyakit, baik fisik maupun penyakit mental.

Indonesia terus menyerukan dan mengupayakan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui program 1.000 hari pertama kehidupan (HPK), karena kualitas masa depan ditentukan sejak awal janin bertumbuh di dalam tubuh seorang ibu.

Seorang ibu hamil harus berjuang menjaga asupan nutrisinya agar pembentukan, pertumbuhan dan perkembangan janinnya optimal. Idealnya, berat badan bayi saat dilahirkan adalah tidak kurang dari 2.500 gram dan panjang badan bayi tidak kurang dari 48 cm.

Seribu hari pertama tersebut, termasuk masa kehamilan hingga tahun pertama, serta dua tahun kehidupan anak. Pada masa ini, terjadi perkembangan pesat pada otak, sel-sel saraf, serta pertumbuhan fisik.

Periode ini merupakan masa yang sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga disebut juga sebagai periode emas, the golden age, atau window of opportunity.

Seribu hari pertama kehidupan adalah salah satu periode yang paling penting bagi seorang manusia karena apa yang terjadi pada 1.000 hari pertama kehidupan akan mempengaruhi sampai dengan anak tersebut dewasa.

Dokter Spesialis Anak dari RS PKU Muhammadiyah, Hari Wahyu Nugroho menekankan pentingnya memantau 1.000 hari pertama kehidupan seorang anak dengan baik dan benar, sehingga tumbuh kembangnya terjamin untuk bisa optimal.

"Pemantauan terhadap tumbuh kembang seorang anak selama 1.000 hari pertama kehidupan dengan baik dan benar, sehingga tumbuh kembangnya terjamin untuk bisa optimal sampai dengan usia 18 tahun," kata dia dalam sebuah webinar, beberapa waktu lalu.

Seribu hari pertama kehidupan adalah salah satu periode yang paling penting bagi seorang manusia karena apa yang terjadi pada masa pertama kehidupan akan mempengaruhi sampai dengan anak tersebut dewasa. Dalam kasus anak yang mengalami stunting, bila tidak dikoreksi dalam 1.000 hari pertama kehidupan, maka setelah periode tersebut terlewati, akan sulit mengoreksinya.

Stunting adalah masalah kesehatan yang terjadi ketika anak-anak mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif yang terhambat karena kurang gizi dan perawatan yang tidak memadai selama 1.000 hari pertama kehidupan, yaitu mulai dari masa kehamilan hingga usia dua tahun.

Stunting memiliki dampak jangka panjang yang serius pada individu dan masyarakat, termasuk penurunan produktivitas, kualitas sumber daya manusia yang buruk, hingga beban ekonomi yang tinggi.

Anak-anak yang mengalami stunting cenderung tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih pendek dan memiliki masalah kesehatan kronis, sehingga dapat berdampak negatif pada produktivitas tenaga kerja dan kesejahteraan ekonomi.

Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) menunjukkan bahwa terjadi penurunan angka stunting berada pada 27,67 persen pada tahun 2019. Walaupun angka stunting ini menurun, namun angka tersebut masih dinilai tinggi, mengingat Organisasi Kesehatan Dunia (World Helasth Organization-WHO) menargetkan angka stunting tidak boleh lebih dari 20 persen.

Data Bank Dunia atau World Bank mengatakan angkatan kerja yang pada masa bayinya mengalami stunting mencapai 54 persen. Artinya, sebanyak 54 persen angkatan kerja saat ini adalah penyintas stunting. Hal inilah yang membuat stunting menjadi perhatian serius pemerintah.

Awal tahun 2021, Pemerintah Indonesia menargetkan angka stunting turun menjadi 14 persen di tahun 2024. Dikutip dari data BKKBN, di antara 5 juta kelahiran bayi setiap tahun sebanyak 1,2 juta bayi lahir dengan kondisi stunting.


Kesehatan mental

Anak yang mengalami stunting berisiko mengalami masalah kesehatan mental, seperti kepercayaan diri rendah, cemas, dan depresi. Anak stunting juga berisiko mengalami disfungsi psikososial dan masalah keluarga, terutama saat remaja.

Anak dengan stunting juga mudah cemas dan rentan mengalami depresi, setelah beranjak remaja, anak dapat berisiko memiliki kemampuan kognitif yang rendah, yaitu kurang berkembang 18,333 kali lebih besar dibandingkan dengan remaja tidak stunting.

Stunting dapat meningkatkan beban sistem kesehatan dan pendidikan. Anak-anak yang menderita stunting mungkin memerlukan perawatan kesehatan tambahan dan mungkin memiliki kesulitan di sekolah.

Untuk menjadi negara maju dan mencapai visi Indonesia Emas 2045, Indonesia perlu memiliki tenaga kerja yang kompetitif secara global. Stunting dapat mengurangi kapasitas sumber daya manusia Indonesia untuk bersaing di pasar global.

Oleh karena itu, penanganan stunting menjadi penting dalam pencapaian visi Indonesia Emas 2045. Upaya untuk mengatasi stunting tidak hanya akan meningkatkan kualitas hidup anak-anak Indonesia, tetapi juga berkontribusi pada perkembangan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan di masa depan.

Untuk mengatasi masalah stunting di Indonesia, Pemerintah telah merancang Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting 2018-2024. Strategi ini mencakup berbagai intervensi yang melibatkan kerja sama lintas sektor di seluruh tingkatan pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Selanjutnya untuk menurunkan angka stunting dengan memperbaiki sistem gizi dan memastikan akses pangan bergizi yang mencakup protein, vitamin, dan mineral, terutama bagi keluarga di daerah terpencil atau kurang mampu.

Upaya lain dengan intervensi kesehatan yang berfokus pada seribu hari pertama kehidupan, termasuk pendampingan ibu hamil dan menyusui di fasilitas kesehatan, peningkatan literasi publik tentang pentingnya gizi seimbang, sanitasi, dan pola asuh yang baik dalam mencegah stunting pada anak-anak.

Program edukasi ini juga mencakup intensifikasi program Bina Keluarga Balita dan melibatkan kader kesehatan untuk menyebarluaskan informasi di masyarakat.

Tantangan lain dalam mempersiapkan generasi berkualitas menuju generasi emas tahun 2045 terkait penularan penyakit infeksi di kalangan anak-anak sekolah dan asrama. Risiko penularan penyakit infeksi rentan terjadi di kalangan siswa, sehingga berdampak terhadap kesehatan siswa dan proses pembelajaran di sekolah.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) meminta dinas kesehatan dan sekolah harus meningkatkan penyuluhan tentang penyakit menular guna mengantisipasi munculnya kasus baru penyakit infeksi untuk mencegah terjadinya kasus kejadian luar biasa (KLB) yang dalam beberapa bulan terakhir di lingkungan sekolah.

Ketua Pengurus Pusat IDAI Piprim Basarah Yanuarso menyatakan anak-anak lebih rentan terkena penyakit menular karena kontak erat selama hampir 24 jam bersama dengan teman-teman di sekolah atau di asrama, sehingga risiko penularan penyakit menular lebih tinggi.

Beberapa penyakit infeksi yang rentan ditularkan di lingkungan sekolah adalah Mumps, Varicella, Hepatitis A, dan Hand Foot Mouth Disease. Penyebaran penyakit ini dapat berdampak serius pada kesehatan anak dan proses belajar mengajar.

Piprim mengingatkan, anak-anak yang terinfeksi tidak hanya berisiko mengalami komplikasi kesehatan, tetapi juga dapat menularkan penyakit kepada teman-teman dan lingkungan sekitarnya. Bahkan, ada beberapa sekolah asrama yang harus menutup sekolah karena kejadian luar biasa, yang tentunya dapat mengganggu proses belajar anak.

Selain itu, anak-anak yang sakit, seperti Hepatitis A dengan gangguan fungsi hati berat, perlu beristirahat lama, hingga beberapa minggu dan kondisi tersebut amat mengganggu proses belajarnya.

Karena itu, IDAI meminta pemerintah dan lembaga kesehatan terus meningkatkan kesadaran orang tua tentang pentingnya vaksinasi serta perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dengan memperkuat pelaksanaan program vaksinasi di sekolah-sekolah, termasuk penyuluhan tentang manfaat vaksinasi dan penerapan PHBS.

Generasi Emas 2045 dengan bonus demografi bukan sekadar wacana. Setiap langkah yang diambil saat ini memiliki implikasi yang besar terhadap pencapaian cita-cita tersebut. Generasi yang sehat dan berkualitas dipersiapkan sejak dini sebagai investasi menuju masa depan yang lebih baik dan lebih berdaya saing di kancah global.


Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024