PP No 61/2014 sudah sesuai dengan fatwa MUI. Namun khusus pada pasal 31 yang menyebutkan bahwa tindakan aborsi hanya bisa dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan, perlu dipantau,"

Mataram (ANTARA News) - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nusa Tenggara Barat menegaskan penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi harus dipantau ketat agar tidak disalahgunakan, terutama pasal 31.

"PP No 61/2014 sudah sesuai dengan fatwa MUI. Namun khusus pada pasal 31 yang menyebutkan bahwa tindakan aborsi hanya bisa dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan, perlu dipantau," kata Ketua MUI NTB TGH L Ahmad Soeparlan MA di Mataram, Selasa.

Ia menambahkan, sesuai dengan fatwa yang ditetapkan pada 2005, disebutkan bahwa aborsi boleh dilakukan jika bersifat darurat medis atau korban perkosaan.

"Darurat medis maksudnya jika tidak dilakukan aborsi sesuai saran yang diberikan dokter, maka nyawa ibu dan janinnya menjadi taruhan," katanya.

Selanjutnya, kata dia, kehamilan akibat perkosaan yang menimbulkan trauma secara psikologis pada korban hanya diperbolehkan jika janin masih berusia di bawah 40 hari.

Hal itu sesuai hadits Rasulullah SAW yang menyebutkan, setelah usia janin 40 hari, ruh sudah ditiupkan, jadi jika lebih dari itu, maka sama saja berbuat dosa.

"Kami hanya mengkhawatirkan setelah ketetapan aturan itu berlaku, banyak yang menyalahgunakannya, jadi butuh pemantauan dalam penerapan PP tersebut," ujarnya.

Aborsi akibat hubungan seksual di luar nikah memang sering terjadi saat ini, melihat hal itu, dalam penerapannya harus disertai dengan pernyataan dari dokter, psikolog, maupun keterangan penyidik yang membenarkan bahwa itu adalah murni kasus perkosaan.

"Memang harus ada persyaratan yang jelas dalam penerapan PP tersebut agar tidak disalahgunakan," katanya.

(KR-DBP/E005)

Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014