Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memandang, implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) masih menjadi tantangan meskipun telah diundangkan pada 20 tahun lalu.
Komisioner Komnas Perempuan Dewi Kanti Setianingsih mengatakan, tantangan tersebut hanya terkait dengan sistem hukum melainkan juga perspektif masyarakat di dalam menyikapi situasi perempuan yang mengalami kekerasan terutama di ranah privat atau ranah keluarga.
“Di mana hambatan itu misalnya ada keengganan atau rasa malu sebagai korban ketika kekerasan yang dialaminya itu disampaikan atau dilaporkan karena akan mengakibatkan aib bagi keluarga, seringnya seperti itu,” kata Dewi dalam acara bincang-bincang yang disiarkan secara daring, di Jakarta, Senin.
Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan, total pengaduan kasus kekerasan berbasis gender (KBG) yang dihimpun dari data lembaga layanan, Badilag, maupun Komnas Perempuan pada tahun 2023 mencapai 289.111, di mana sebanyak 284.741 kasus (98,5 persen) di antaranya merupakan kekerasan terhadap perempuan di ranah personal.
Dalam menghadapi kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah personal, Dewi menyampaikan bahwa pihaknya berupaya melakukan evaluasi implementasi atas pelaksanaan UU PKDRT. Belum lama ini, ujar dia, Komnas Perempuan meminta masukan dari aparatur penegak hukum serta pendamping korban terkait hambatan maupun tantangan yang mereka hadapi selama ini.
Ia mengingatkan, masyarakat juga penting untuk memberikan dukungan kepada para korban agar ruang-ruang pemenuhan keadilan dan pemulihan bagi mereka betul-betul terjadi. Dalam UU PKDRT, upaya rehabilitasi tidak hanya diberikan pada korban tetapi juga pada pelaku sehingga diharapkan kekerasan yang dilakukan pelaku tidak terulang di kemudian hari.
Baca juga: Komnas: Sekolah khusus korban kekerasan seksual tak boleh eksklusif
“Di dalam rumah tangga itu juga sering ada siklus yang berulang. Karena dianggap, kalau dibuka (kasusnya diungkap) itu menjadi aib keluarga. Tetapi seringnya situasi yang dirasakan oleh perempuan adalah selalu mengalah. Mengalah dulu, menutupi, sehingga akhirnya berulang,” kata Dewi.
Ia mengatakan, evaluasi 20 tahun UU PKDRT menjadi penting untuk dilakukan demi memastikan korban ataupun pendamping korban dapat terlindungi. Di samping itu, infrastruktur layanan juga perlu untuk terus disiapkan secara lebih baik termasuk political will dalam anggaran pemerintah yang berpihak pada korban.
Selama ini, Komnas Perempuan menjalin kerja sama dengan berbagai lintas lembaga, seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Ketika menghadapi kasus, Komnas Perempuan juga berjejaring dan berkolaborasi dengan para pengada layanan atau para mitra mengingat lembaga ini tidak melakukan pendampingan secara langsung kepada korban.
“Artinya dengan mandat yang terbatas tidak pada pelayanan, kami berjaring-jaring dengan mitra pengada layanan untuk memastikan perlindungan dan upaya-upaya pemenuhan keadilan bagi korban hingga pemulihan korban itu bisa terwujud. Juga dengan para aparatur hukum, kami juga melakukan dialog dan penguatan-penguatan bagaimana pentingnya mereka memahami rujukan-rujukan aturan hukum yang sebetulnya sudah tersedia,” kata Dewi.
Baca juga: Komnas: Peran perempuan dalam mitigasi perubahan iklim harus diperkuat
Baca juga: Pimpinan MPR: Negara harus hadir berantas kekerasan pada perempuan
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024