Jakarta (ANTARA) - Pemilu, termasuk pemilihan umum kepala daerah (pilkada) adalah salah satu kedaulatan rakyat tertinggi dalam menentukan sikap politik. Harga diri rakyat, ada pada pemilu yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali ini. Pada saat pilkada, rakyat benar-benar berdaulat dan berkuasa.

Rakyat "berkuasa" agar apa yang dikehendaki bisa dipenuhi oleh ”pelayannya”. Itulah harga diri yang patut diperjuangkan.

Hak rakyat dalam berpolitik menyalurkan aspirasinya sangat dilindungi oleh sejumlah perangkat UU, mulai UUD 1945 sampai dengan berbagai turunannya undang-undang, seperti UU Pemilu, HAM, kebebasan, berserikat dan berkumpul, menyatakan pendapat, dan lainnya.

Itulah harga diri yang patut diperjuangkan, karena pemilu, salah satu pilar demokrasi. Lewat pemilu, harga diri rakyat benar-benar mendapatkan tempat singgasananya.

Kejadian di Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur, dengan alasan apapun, penghakiman sendiri oleh sekelompok orang hingga membuat nyawa orang lain melayang, atas nama apapun adalah tindakan yang menyimpang dari nilai luhur budaya kita yang terangkum dalam nilai-nilai Pancasila.

Pemilu, termasuk pilkada, harus menjadi pesta rakyat yang menggembirakan, jangan justru menakutkan dan membuat suasana mengerikan.

Sebagai ajang kontestasi, "harga diri" ingin menjadi pemenang layak diperjuangkan, tapi bukan dengan saling menyerang dan melukai fisik.

Secara etimologis, harga diri itu martabat. Kata ini berasal dari bahasa Latin, yakni dignity, yang mengandung arti layak, patut, wajar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa martabat manusia merupakan sesuatu yang layak atau patut dihormati dan dihargai secara absolut.

Meskipun kasus di Sampang itu bukan masuk dalam kategori carok, yakni sebagai duel satu lawan satu, bukan keroyokan, tapi motifnya sama, ingin membunuh orang lain.


Asal usul

Kata carok berasal dari bahasa Kawi Kuno, yang merupakan kepanjangan dari istilah "ecacca erok-orok" yang berarti "dibantai" atau "dimutilasi". Istilah ini menggambarkan betapa brutalnya pertarungan yang terjadi dalam tradisi ini.

Carok sering kali dipicu oleh perselisihan terkait harga diri, keluarga, atau masalah pribadi. Dalam masyarakat Madura, harga diri (martabat) sangat dijunjung tinggi, dan dalam beberapa kasus, carok menjadi cara untuk "memulihkan" martabat yang tercemar itu.

Martabat mengacu kepada hal yang baik, diinginkan, layak, berguna, indah, bermanfaat, benar dan karena itu menjadi sesuatu yang mewajibkan, terlepas dari apakah kita suka atau tidak, menikmatinya atau tidak.

Meninggalnya warga Sampang, Jimmy Sugito Putra akibat dikeroyok, dugaan kuatnya karena terkait politik atau Pilkada 2024 menjadi menarik karena pemicunya bukan lagi oleh konflik personal tentang harga diri keluarga.

Harga diri yang memicu seseorang menghabisi nyawa orang lain, kini telah masuk ke persoalan politik, seperti insiden di Sampang, salah satu dari empat kabupaten di Pulau Madura.

Kontestasi pilkada yang kompetitif dan kompleks dianggap membuat praktik politik uang kian rawan. Salah satu titik yang paling rawan ialah ketika hari tenang dan pencoblosan, atau sering disebut serangan fajar. Momen itu menjadi ujian juga bagi harga diri rakyat untuk tidak mudah terpancing oleh iming-iming.

Inilah yang harus dijaga maruah para penyelenggara pemilu, juga peserta pemilu, baik itu partai politik, maupun pasangan calon, tim sukses paslon, dan masyarakat sebagai kelompok pendukung.

Pilkada harus dijadikan kontes mempertahankan atau membela harga diri dan martabat, baik penyelenggara, maupun pesertanya. Semuanya harus memiliki prinsip dalam pilkada, bahwa ini adalah perihal moral, etika, dan integritas.

Sikap fanatik terhadap satu pasangan calon, jangan sampai mengganggu ketenteraman, kerukunan di tengah masyarakat. Dalam setiap situasi kita perlu mencari solusi bagaimana mengurangi adanya prasangka yang berlebihan yang dapat mengakibatkan adanya permusuhan, terlebih menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah 2024 ini.

Untuk menuju (peradaban) yang unggul memang butuh proses, seringkali panjang. Mengapa kekerasan masih terus melekat pada para aktor politik, termasuk masyarakat kita? Kondisi ini bisa untuk pengikut maupun pimpinannya.

Dalam Al Quran, Surat At-Tin ayat 5, ada peringatan Allah mengenai keadaan manusia, yakni ahsani taqwim (manusia yang paling baik) atau asfala safilin (manusia yang paling rendah).

Kelompok asfala safilin ini bahkan dihukumi sebagai yang lebih rendah ketimbang binatang. Manusia bisa terjerembab pada level itu. Karenanya, kita harus selalu waspada, setiap saat berjihad melawan hawa nafsu alias tazkiyatun nafs. Jangan sampai kita larut dan terhanyut pada apa yang Pujangga Jawa Ranggawarsita sebut sebagai zaman edan.

Pengendalian diri kita perlu terus dijaga, sehingga tidak mengedepankan hawa nafsu dalam mengikuti proses politik praktis ini.

Politik, kata filosof Hannah Arendt, merupakan seni untuk mengabadikan diri manusia. Mengabadikan diri merupakan seni untuk dikenang sesama warga negara dan dicatat sejarah karena jasa-jasa dan prestasi dalam membangun kehidupan bersama. Ini yang harus dikedepankan oleh para kandidat dan tim suksesnya untuk adu gagasan, bukan adu kekuatan.

Berpolitik itu keharusan yang tidak bisa dihindari. Karena secara praktis, politik merupakan aktivitas yang mulia dan bermanfaat karena berhubungan dengan mengorganisasi urusan masyarakat atau publik dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

Islam adalah agama universal, meliputi semua unsur kehidupan, dan politik di dalamnya. Negara dan tanah air adalah bagian dari Islam yang harus dijalani dan dikelola dengan baik, sehingga berdampak baik. Tidak ada pemisahan antara agama dan politik. karena politik bagian dari risalah Islam yang sempurna.

Menurut ulama asal Mesir Dr. Yusuf Al-Qardhawi, tidak ada kebaikan pada agama yang tidak ada politiknya, dan tidak ada kebaikan dalam politik yang tidak ada agamanya.

Karena itu, perbedaan pandangan dan pilihan adalah hal yang tidak perlu menjadi masalah, seperti pernah disampaikan ulama kita KH Abdurahman Wahid alias Gus Dur bahwa perbedaan dalam berbagai hal, termasuk aliran dan agama, sebaiknya diterima karena itu bukan sesuatu masalah.

Karena itu, mari kita wujudkan Pilkada 2024 ini penuh damai dan ketenteraman. Mari kita juga persaudaraan dan harga diri, serta nyawa orang lain.


*) Ahmad Sihabudin adalah dosen komunikasi lintas budaya FISIP Universitas Sultan Agung Tirtayasa

Copyright © ANTARA 2024