Flores Timur (ANTARA) - Masih teringat dengan jelas di benak Petrus Muda Kurang, dahsyatnya letusan Gunung Lewotobi Laki-laki pada Minggu (3/11) pukul 23.57 WITA lalu.

"Ini lihat, masih ada bekas luka di kepala saya," kata Petrus yang merupakan Kepala Desa Klatanlo, Kecamatan Titihena, Kabupaten Flores Timur itu, sembari menunjuk beberapa luka yang mulai mengering.

Gunung Lewotobi Laki-laki yang memiliki tinggi 1.584 meter di atas permukaan laut, mengalami letusan-letusan eksplosif pada dini hari yang tengah hujan lebat itu. Seketika keheningan Desa Klatanlo yang berjarak 4 km dari puncak gunung berubah menjadi mencekam.

Tinggi kolom tidak teramati, namun berdasarkan data BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), erupsi terekam di seismograf dengan amplitudo maksimum 47,33 mm dengan durasi 1.450 detik atau sekitar 24 menit.

Sejumlah material pijar terlontar ke udara menyebabkan kebakaran di kawasan penduduk di sekitar gunung. Gunung Lewotobi Laki-laki juga memuntahkan pasir dan debu yang membuat sejumlah desa terlihat berwarna abu-abu berselimut pasir dan debu.

Petrus mengisahkan malam saat kejadian ia masih terjaga. Usai buang air kecil ia menyempatkan diri untuk menghisap sebatang rokok sambil mengutak-atik gawainya sebelum beranjak untuk istirahat.

Keheningan malam dengan cuaca hujan yang gerimis itu pecah. Ia dikejutkan dengan material piroklastik berupa batuan pijar berukuran cukup besar dari Lewotobi menghantam kamar mandinya.

Kamar mandi berukuran panjang dua meter dan lebar empat meter itu sekejap rata dengan tanah, kobaran api yang muncul usai kejadian itu membuatnya panik.

Sebagai seorang kepala keluarga, naluri menjaga anggota keluarganya seketika muncul. Istri dan kelima anaknya terhenyak dari tidur bergegas ingin menyaksikan peristiwa alam itu dari luar rumah. Namun, dengan tegas Petrus meminta seluruh keluarganya agar mengamankan diri di dalam rumah.

Rasa khawatir, cemas dan ketakutan semakin menjadi-jadi tatkala langit menjadi merah dan lontaran batu pijar dan pasir tak hentinya dirasakan dari dalam rumah.

"Lalu saya keluar ke dapur, batu besar hantam pintu dapur, daun pintu terpental kena saya dan listrik malam itu langsung padam," ungkapnya.

Petrus merasa malam itu bak akhir dari dunia, alam menunjukkan kedigdayaannya. Warga desa berlarian ke luar rumah, sebagian warga bertahan dalam rumah mendaraskan doa dan harap agar bencana dahsyat itu segera berlalu.

Ia bersama keluarga serta warga menyelamatkan diri ke wilayah jalan utama yang berjarak cukup jauh dari kaki gunung.

Peristiwa yang 'mengerikan' itu memukul mental warga desa, trauma mendalam dialami seluruh warga. Belum habis Petrus kalang kabut, ia mendapatkan kabar bibi, paman dan empat anggota keluarganya tewas tertimbun dalam satu rumah yang roboh akibat dihantam batu pijar.

Suara serak yang dimiliki Petrus seakan tertahan di tenggorokan. Matanya berlinang air mata saat menyebut sebanyak enam dari sembilan korban jiwa dari Desa Klatanlo merupakan keluarga dekatnya.

Seperti luka menganga dan terus disayat-sayat, ia juga melihat langsung proses evakuasi tim gabungan yang berjalan dramatis. Perihnya kejadian itu harus ia jalani penuh rasa tanggung jawab. Pada Senin paginya ia bersama personel TNI dan pemerintah setempat menguburkan seluruh korban.

Usai mengurus pemakaman warga-warganya yang tewas akibat erupsi, sebagai kepala desa Petrus pun melanjutkan tanggung jawabnya mengurus evakuasi 257 kepala keluarga atau sekitar 1.300 warga desanya untuk mengungsi ke lokasi yang lebih aman.

Harapan pengungsi

Pemerintah Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) mencatat hingga 22 November 2024 pukul 20.00 WITA, total korban terdampak erupsi mencapai 12.962 jiwa, dan tersebar di enam pos lapangan. Rinciannya, sebanyak 7.363 jiwa menempati posko, dan 5.599 jiwa lainnya secara mandiri menempati rumah warga atau keluarga dan berstatus pengungsi mandiri.

Tiga minggu sudah penyintas erupsi Gunung Lewotobi dari beberapa desa di Kecamatan Titihena dan Wulanggitang harus terpisah dari kehidupan kampung karena aktivitas gunung api yang masih terus erupsi. Trauma psikis dan kerugian materiel melengkapi peliknya hidup sebagai penyintas erupsi.

Harapan warga untuk kehidupan yang lebih baik, nyaman dan aman dari ancaman erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki terbuka melalui konsep relokasi. Pemerintah meminta warga yang bermukim dalam radius tujuh kilometer dari puncak gunung untuk menempati lahan yang akan disiapkan.

Program ini disambut baik para penyintas erupsi. Petrus menjelaskan mayoritas warganya setuju dengan keputusan relokasi demi keselamatan, walaupun terasa berat meninggalkan kehidupan di kaki gunung.

Saat ini, ia berkantor sementara di bawah terpal yang dinaungi pohon jambu di Desa Lewolaga, Kecamatan Titihena. Kantor desa darurat itu berada di depan rumah kerabatnya yang bersedia menerima Petrus sebagai pengungsi mandiri.

Setiap hari, silih berganti warga mengantarkan formulir pernyataan bersedia untuk direlokasi oleh pemerintah.

Warga desa menginginkan agar titik relokasi tidak jauh dari perkampungan lamanya. Sebab, mayoritas warga merupakan masyarakat agraris yang menggantungkan hidup dari sektor pertanian dan peternakan.

Petrus khawatir titik relokasi yang jauh akan menyulitkan masyarakat saat bekerja karena biaya operasional yang tinggi dan berdampak pada perekonomian warga, terlebih lahan pertanian di kampung lama akan terus digarap warga sebagai penopang hidup.

Seperti halnya Petrus dan warganya di Klatanlo, Kepala Desa Boru Alfons Kelasa Soge menyatakan dia dan warganya juga siap direlokasi. Ada lebih dari 3 ribu warga dari dua dusun di Desa Boru terdampak erupsi Gunung Lewotobi. Jaraknya yang hanya lima kilometer dari pusat erupsi Lewotobi Laki-laki mengharuskan mereka untuk direlokasi.

Seluruh lahan pertanian warga terdampak, hasil pertanian warga tahun ini tidak mendapatkan hasil karena seluruh tanaman perkebunan seperti kelapa, kakao dan tanaman perkebunan lainnya terdampak erupsi.

Relokasi yang tengah diupayakan pemerintah menjadi harapan baru bagi warga untuk terlepas dari kekhawatiran dan trauma bencana alam. Langkah ini sekaligus memberikan kehidupan yang layak melalui penyediaan lahan yang memiliki kepastian hukum dan ketersediaan sarana prasarana penunjang kehidupan yang layak.

Hal senada juga disampaikan warga Desa Nawakote, Karolus Kune Boru, yang setuju dengan program relokasi yang dilakukan pemerintah demi keselamatan warga yang bermukim di kaki Gunung Lewotobi Laki-laki.

Persetujuan Karolus tidak lepas dari rasa trauma yang mendalam. Dia melihat langsung kerabatnya menjadi korban luka berat akibat letusan Gunung Lewotobi Laki-laki dan kedua kaki kerabatnya harus diamputasi.

Keselamatan warga menjadi prioritas dalam masa tanggap darurat saat ini. Namun, penyintas juga berharap pemerintah memperhatikan pemulihan ekonomi warga terdampak erupsi, sehingga warga di lokasi relokasi nantinya dapat berdaya dan bangkit dari keterpurukan akibat bencana alam.

Program relokasi

Merespons harapan para pengungsi, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno mengunjungi satu titik rencana relokasi warga terdampak erupsi Lewotobi Laki-laki pada Minggu (24/11/2024). Lokasinya berada di kawasan Hutan Lindung Wukoh Lewoloroh, perbatasan Kabupaten Flores Timur dan Sikka. Saat ini lokasi tersebut masih menunggu persetujuan dari Kementerian Kehutanan karena termasuk kawasan hutan.

Pratikno di tengah guyuran hujan pada Minggu siang tampak serius memperhatikan penjelasan terkait status lahan itu didampingi Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto dan Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto.

Sejauh ini, dalam catatan Kemenko PMK terdapat sebanyak tiga titik lokasi yang diusulkan untuk pembangunan hunian tetap bagi warga terdampak. Ketiga lokasi itu yakni Noboleto, Wukoh Lewuloroh, dan Kojarobet. Titik-titik lokasi itu mencakup lahan hibah yang diberikan oleh masyarakat setempat, tanah adat yang berasal dari suku lain, serta sebagian dari kawasan hutan lindung.

Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu menjelaskan upaya penyediaan hunian tetap bagi para penyintas dilakukan secara komprehensif oleh pemerintah dengan mempertimbangkan aspek komunitas, sosial dan antropologi sebab relokasi dinilai sebagai upaya pembangunan kehidupan masyarakat.

Titik relokasi diharapkan tidak menjauhkan warga dari lahan pertanian, sehingga program relokasi dapat meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik bagi masyarakat.

Proses finalisasi lokasi hunian tetap, ditargetkan selesai dalam waktu enam bulan mendatang, bertepatan dengan akhir masa penggunaan hunian sementara yang tengah dibangun di Desa Konga. Pemerintah akan terus berupaya mempercepat langkah-langkah konkret untuk mendukung relokasi ini.

Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto mengatakan relokasi akan dilakukan bagi 2.209 kepala keluarga dari enam desa di dua kecamatan yakni Kecamatan Wulanggitang dan Kecamatan Ile Bura, karena berada di bawah kaki Gunung Lewotobi Laki-Laki atau dalam radius sekitar 4-5 kilometer dari puncak erupsi.

Desa yang direkomendasikan untuk direlokasi yakni empat desa di Kecamatan Wulanggitang antara lain Desa Klatanlo, Desa Hokeng Jaya, Desa Boru, dan Desa Nawakote serta dua desa di Kecamatan Ile Bura antara lain Desa Nobo dan Desa Dulipali.

Hingga Minggu (24/11), BNPB telah menerima data sebanyak 1.400 kepala keluarga bersedia untuk direlokasi secara terpusat maupun mandiri.

Jenderal bintang tiga TNI Angkatan Darat ini menilai penyintas erupsi di Flores Timur telah memiliki kesadaran untuk direlokasi demi keselamatan diri dan generasi selanjutnya.

Walaupun titik-titik relokasi dalam upaya perencanaan, persiapan dan negosiasi, akan tetapi pemerintah berkomitmen untuk memberikan hunian layak di luar kawasan rawan bencana, sehingga aman dan bisa dimanfaatkan untuk berkebun atau aktivitas perekonomian lainnya.

Selain tiga lokasi relokasi yang telah diusulkan itu, Pemerintah Kabupaten Flores Timur juga berupaya menyediakan lahan untuk relokasi seluas 100 hektare di Desa Lewolaga yang berjarak lebih dari 23 km dari puncak erupsi.

Sinergi antara pemerintah dan seluruh instansi terkait dalam percepatan persiapan tempat relokasi tersebut diharapkan dapat berbuah manis, dan menjadi harapan baru bagi para warga untuk masa depan yang lebih baik tanpa adanya kekhawatiran terhadap momok erupsi gunung yang pernah mereka alami.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024