Jakarta (ANTARA) - Hampir selama tiga pekan pada November ini, berlangsung tiga pertemuan global penting yang semuanya dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto atau diwakilkan.

Ketiganya adalah KTT Kerja sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Peru yang berakhir 16 November, KTT G20 di Brasil yang berakhir 19 November, dan KTT Iklim di Azerbaijan pada 11-22 November.

Untuk KTT Iklim di Baku, Azerbaijan, Presiden Prabowo Subianto menunjuk Hashim Djojohadikusumo sebagai utusan khusus menghadiri pertemuan Conference of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change (COP29 UNFCCC) tersebut.

Sayang, tak kentara terlihat ada pesan kuat dari ketiga pertemuan itu. Yang justru terlihat adalah kehati-hatian, bahkan kegamangan, seolah menunggu sesuatu.

Salah satu faktor adanya kegamangan itu adalah skenario tergugatnya lagi multilaralisme seperti terjadi pada 2017-2021 ketika Donald Trump menjadi presiden Amerika Serikat (AS).

Dan mulai 20 Januari 2025, Trump kembali berkuasa di Amerika Serikat setelah memenangkan Pemilu 5 November 2024.

Tak bisa lupa oleh sikap dan langkah Trump selama pemerintahan pertamanya yang mencampakkan platform-platform multilateral, dunia cemas menantikan apakah Trump 2.0 akan seperti Trump edisi 2017-2021.

Saat itu, segera setelah menguasai Gedung Putih pada 2017, Trump secara drastis menggeser orientasi kebijakan luar negeri Amerika.

Dia mempertanyakan efektivitas kerja sama multilateral dan sebaliknya agresif memajukan unilateralisme atau langkah sepihak.

Dia kemudian mengeluarkan negaranya dari berbagai kesepakatan dan organisasi internasional, mulai Kesepakatan Iklim, Kemitraan Trans Pasifik (TPP), UNESCO, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Dewan Hak Asasi Manusia (UNHRC), sampai Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Seraya memproklamirkan doktrin "America First", Trump menyatakan kepentingan nasional mutlak harus di atas globalisme. Konsekuensinya, dia menolak badan-badan internasional yang meregulasi globalisme.

Dia berusaha mempraktikkan globalisme tanpa regulator global karena menurut dia masing-masing negaralah yang mesti mengatur hubungan internasional.

Trump juga menolak pandangan bahwa AS mesti berperan dalam memimpin lembaga-lembaga global. Dia menganggap keterlibatan internasional AS telah menghisap energi dan keuangan negaranya.

Trump tak rela membiarkan uang para pembayar pajak AS dipakai untuk mengongkosi kebijakan-kebijakan yang globalistis, termasuk untuk intervensi militer di negeri asing atau aksi-aksi demi menegakkan tatanan internasional berbasis aturan.

Trump beranggapan globalisme yang diatur platform-platform multilateralisme telah menghilangkan lapangan kerja di AS dan mengganggu proses industri dalam negeri, karena globalisme telah memfasilitasi larinya modal dan industri dari AS ke Meksiko, China, dan banyak lagi.

Ancaman untuk kolaborasi global
Dari perspektif kepentingan nasional, jelas tak ada yang salah dengan pandangan Trump itu.

Tapi, bagi negara yang pengaruhnya sangat mengglobal seperti AS, pandangan yang menafikan multilateralisme, sungguh mengancam eksistensi forum-forum dan platform-platform multilateral, yang justru menjadi tambatan banyak negara di dunia.

Kebanyakan negara di dunia tak akan mampu sendirian memperjuangkan kepentingan nasionalnya. Mereka membutuhkan kolaborasi dan platform multilateralisme adalah andalan mereka.

Bahkan Inggris yang keluar dari Uni Eropa (Brexit) pun belum bisa menutup kehilangan dampak riil keluar dari Uni Eropa terhadap neraca ekonomi negara itu, sampai Partai Konservatif yang mencetuskan Brexit pun terjungkal dari kekuasaan.

Untuk pertama kali sejak 2010, Partai Konservatif didepak dari kekuasaan oleh Partai Buruh pimpinan Perdana Menteri Keir Starmer, yang seperti umumnya partai berspektrum kiri, berusaha merangkul platform multilateral untuk kerja sama internasional.

Kemenangan Keir Starmer dan Partai Buruh menjadi puncak dari naiknya lagi popularitas kiri-tengah yang terbiasa merangkul platform kolaborasi dalam hubungan internasional.

Kecenderungan serupa terjadi di Amerika Latih, termasuk Brasil dengan naiknya lagi Luiz Inacio Lula da Silva, di Eropa termasuk Prancis, Spanyol, Jerman, dan Swedia, juga di Asia termasuk Iran.

Tapi kemenangan Trump dalam Pemilu 2024 menginterupsi kecenderungan itu, dan sekaligus menyibakkan lagi kekhawatiran bakal adanya lagi koreksi terhadap multilateralisme.

Banyak pemerintahan menantikan warna kebijakan Amerika Serikat pada edisi kedua pemerintahan Trump nanti, yang acap disebut "Trump 2.0".

Apakah Trump akan kembali menempuh langkah seperti yang dia lakukan pada periode 2017-2021?

Ada petunjuk dia akan mengadopsi strategi serupa dengan era pertama pemerintahannya, tapi juga ada alasan yang menunjukkan Trump mungkin tak akan lagi mereorientasikan kebijakan luar negeri AS secara drastis.

Isyarat dari formasi kabinet
Petunjuk bahwa Trump akan mengadopsi pendekatan yang mencampakkan multilateralisme bisa dilihat dari orang-orang yang dia calonkan untuk masuk kabinetnya, terutama pos menteri luar negeri, menteri pertahanan, menteri keuangan, menteri energi, menteri perdagangan, penasihat keamanan nasional, duta besar AS untuk PBB, dan kepala badan lingkungan AS (EPA).

Kecuali Senator Marco Rubio yang dicalonkan sebagai menteri luar negeri, calon-calon pengisi kabinet Trump rata-rata menentang multilateralisme dan globalisme.

Salah satunya adalah calon menteri pertahanan, Pete Hegseth, yang dalam bukunya "American Crussade" pada 2020, mengatakan bahwa kemenangan bagi AS adalah jika bisa mengalahkan globalisme, sosialisme, sekularisme, environmentalisme, islamisme, genderisme, dan paham kiri.

Tokoh-tokoh lain seperti Elise Stefanik yang dicalonkan sebagai duta besar AS untuk PBB, juga dikenal anti-globalisme, selain juga sangat pro-Israel.

Stefanik mengecam Kesepakatan Iklim dan Dewan HAM PBB, yang April tahun ini meminta Israel bertanggungjawab atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Jalur Gaza.

Pun dengan calon menteri energi, Chris Wright, yang diyakini bakal mendorong AS menggenjot lagi produksi bahan bakar fosil yang jelas merupakan langkah mundur untuk komitmen iklim dunia mengenai target emisi global.

Sementara Howard Lutnick yang calon menteri perdagangan dan Scott Bessent yang kandidat menteri keuangan adalah para penganjur proteksionisme yang bisa memicu lagi perang dagang, khususnya dengan China, seperti terjadi pada era pertama Trump.

Di sisi lain, ada alasan Trump lebih mau mendengar spektrum lain di luar pandangan kanan yang dianutnya. Ini karena kali ini Trump mendapatkan dukungan dari segala lapisan dan warna politik di AS.

Pemilihan Marco Rubio yang menganjurkan AS tetap memimpin dunia dan mendukung Ukraina dalam perang melawan Rusia, menjadi indikasi bahwa Trump akan dipaksa merangkul segala pandangan politik di negaranya.

Berbeda dari kemenangan pada Pemilu 2016, Trump kali ini memenangkan pemilu dengan telak.

Hal itu juga dibarengi dengan dominasi Partai Republik di legislatif, baik majelis rendah (DPR) maupun mejelis tinggi (Senat). Itu masih ditambah dengan yudikatif (Mahkamah Agung), yang didominasi hakim-hakim konservatif yang dulu dicalonkan oleh Trump.

Tetapi banyak di pihak di AS, meyakini Trump akan lebih lebih hati-hati dan terukur dalam melangkah, dibandingkan dengan masa pertama kekuasaannya.

Bahkan dalam skenario menjadi terukur pun tetap tanda tanya bagi dunia. Tak heran, forum-forum global seperti KTT APEC, G20, dan Kesepakatan Iklim, pun tak berani menawarkan terobosan besar. Semuanya menunggu warna kebijakan AS di era "Trump 2.0".

Baca juga: Pakar: Pemerintahan Trump berpotensi alami "kekacauan besar"
Baca juga: Rusia berharap dapat lanjutkan dialog dengan AS usai kemenangan Trump
Baca juga: CEO Citi paparkan efek positif-negatif kemenangan Trump
Baca juga: Sri Mulyani antisipasi ASEAN terimbas tarif impor tinggi Trump
Baca juga: Media: 1,3 juta imigran legal kemungkinan akan dideportasi oleh Trump

Copyright © ANTARA 2024