Dalam UU Pilkada Pasal 187A ayat (1) menyebutkan setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk memengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Disebutkan pula dalam Pasal 73 ayat (4) UU Pilkada, selain calon atau pasangan calon, anggota partai politik, tim kampanye, dan sukarelawan, atau pihak lain juga dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk memengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu
Hukuman pidana penjara ini juga berlaku kepada pemilih. Dalam Pasal 187 A ayat (2) yang menyebutkan pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Sebenarnya ketentuan larangan praktik politik uang ini sejak tahapan pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Bagi anggota partai politik atau anggota gabungan partai politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada pencalonan kepala daerah/wakil kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp300 juta dan paling banyak Rp1 miliar (vide Pasal 187 B).
Norma-norma yang termaktub dalam UU Pilkada itu sebenarnya menguntungkan pasangan calon karena akan mengurangi biaya politik. Namun, tidak dimungkiri ada di antara calon pemilih yang memburu kesenangan sesaat, tanpa berpikir panjang risiko memilih pasangan calon yang menghalalkan segara cara.
Akan tetapi, ada pula calon pemilih yang berpikir logis bersikap tegas menolak pemberian sembako maupun uang puluhan ribu rupiah hingga ratusan ribu rupiah. Bahkan, mereka berasumsi Rp100 ribu dikalikan 5 tahun sekitar Rp1.666,66 per bulan. Uang sebesar ini bagi penerima relatif terlalu kecil.
Sementara itu, pasangan calon untuk menggelontorkan dana untuk separuh dari 28.427.616 nama yang masuk dalam daftar pemilihan tetap (DPT) Pilkada Jateng 2024, misalnya, relatif sangat besar. Separuh dari jumlah DPT sebanyak 14.213.808 orang, kemudian dikalikan Rp100 ribu, misalnya, totalnya Rp1.421.380.800.000,00. Kemungkinan dalam praktiknya, bisa kurang atau bisa lebih dari total biaya politik tersebut.
Oleh sebab itu, bagi penerima uang politik secara tidak langsung ikut menanam bibit-bibit korupsi sekaligus merusak tatanan demokrasi di Tanah Air, yang pada akhirnya masyarakat sendiri yang rugi.
Di sinilah pentingnya kontraintelijen guna mempersempit ruang gerak oknum yang memanfaatkan masa tenang melakukan praktik politik uang dengan gerakan cepat, senyap, dan menyasar calon pemilih dari rumah ke rumah penduduk.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024