Semarang (ANTARA) - Ingar bingar pesta demokrasi di 37 provinsi dan di 508 kabupaten/kota se-Indonesia seharusnya sudah tidak terdengar lagi ketika memasuki masa tenang mulai Minggu (24/11) hingga 26 November 2024.
Kalaupun masih terdengar hiruk pikuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di media massa atau media sosial (medsos) pada hari pertama masa tenang, 24 November 2024, merupakan kegiatan pada hari sebelumnya, Sabtu (23/11). Namun, sebaiknya semua pihak, termasuk warganet, menghentikan aktivitas kampanye, baik kampanye positif, kampanye negatif, maupun kampanye hitam.
Masa kampanye hampir 2 bulan, 25 September—23 November 2024, relatif cukup menyampaikan visi, misi, dan program kerja, baik melalui debat publik, kampanye terbuka, media massa, media sosial, maupun penyebaran bahan kampanye (berupa selebaran, brosur, pamflet, dan poster) serta pemasangan alat peraga kampanye (berbentuk reklame, spanduk, dan umbul-umbul).
Seyogianya menjelang berakhirnya masa kampanye, pasangan calon, tim sukses, partai politik atau gabungan partai politik, dan simpatisan dengan kesadaran penuh mencopot alat peraga kampanye (APK) di setiap titik dan melepas bahan kampanye di dinding rumah, tiang listrik, atau tempat lainnya.
Dengan demikian, penyelenggara pemilihan (KPU dan Bawaslu) serta pemangku kepentingan lain lebih fokus pada distribusi logistik pilkada, baik untuk keperluan pemungutan suara pemilihan gubernur maupun pemilihan bupati/wali kota di tempat pemungutan suara (TPS).
Kepatuhan pada aturan main pesta demokrasi ini juga tidak terlepas dari penilaian calon pemilih. Bagi yang belum menentukan pilihan, aksi bersih-bersih ruang publik dari APK dan bahan kampanye oleh tim sukses pasangan calon akan punya daya tarik tersendiri, khususnya bagi calon pemilih yang selalu taat asas.
Begitu pula, pendukung peserta pilkada ini akan lebih memantapkan pilihannya pada hari Rabu, 27 November 2024, karena sang calon selalu mematuhi regulasi selama berlangsungnya tahapan Pilkada 2024.
Jika mereka masih berkampanye, muncul pertanyaan masa kampanye dengan durasi waktu hampir 2 bulan itu apakah masih kurang.
Jangan sampai memanfaatkan masa tenang untuk menggalang massa, apalagi melakukan gerakan cepat, senyap, dan cari target operasi (TO) dengan memberi sembako dan/atau uang kepada masyarakat dari rumah ke rumah.
Pemilih yang cerdas dan taat hukum tentu akan menolak pemberian sembako dan/atau uang dari siapa pun dengan maksud memilih pasangan calon tertentu. Kalau perlu, tidak hanya menolak pemberian, tetapi tidak usah memilih pasangan calon yang melakukan praktik politik uang.
Gegara menerima uang tidak seberapa, tidak menutup kemungkinan warga penerima terancam pidana dan denda. Soal pengaturan sanksi bagi yang melakukan politik uang (money politics) dalam pilkada, termaktub dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Copyright © ANTARA 2024