Jakarta (ANTARA) - Rencana Menteri Ketenagakerjaan Yassierli untuk menggelar bursa kerja (job fair) setiap pekan menjadi harapan tersendiri atas persoalan angka pengangguran yang tinggi akibat pelemahan aktivitas ekonomi.

Namun, harapan adalah dua sisi mata uang. Di balik optimisme, muncul pertanyaan mendasar terkait apakah ini benar-benar solusi, atau hanya ilusi?

Seberapa efektif bursa kerja mingguan ini dalam menjawab tantangan besar yang melilit pasar tenaga kerja di tanah air?

Angka pengangguran di Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), mencapai 7,9 juta orang pada Februari 2023. Sebuah angka yang bukan sekadar statistik, melainkan cermin begitu banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan.

Di balik angka itu, ada masalah yang lebih kompleks mencakup ketidaksesuaian antara kualifikasi pekerja dan kebutuhan perusahaan. Fenomena ini dikenal sebagai job mismatch dan menjadi tantangan utama dalam pasar kerja di Indonesia.

Periset Ilmu Administrasi Publik Hendra Wijayanto dan Samsul Ode dalam Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan Administratio pada 2019 menyebut fenomena ini sebagai link and match.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa ada kesulitan antara perusahaan dan tenaga kerja dalam mendapatkan pekerja dan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan antara perusahaan dan tenaga kerja yang ada.

Menurut peneliti, tingginya link and match antara lain disebabkan oleh lembaga penyelenggara pendidikan yang kurang memperhatikan kebutuhan pasar dan masih berorientasi pada lulusan berkualitas. Sehingga lulusan yang dihasilkan tidak terserap oleh pasar, dampaknya terjadilah pengangguran.

Pemerintah, kemudian dengan langkah-langkah proaktifnya, mencoba menjembatani kesenjangan ini. Platform seperti job fair menjadi salah satu upaya yang bertujuan mempertemukan pencari kerja dengan perusahaan. Tetapi, seberapa efektif pendekatan ini?

Pada dasarnya, bursa kerja bukanlah hal baru di Indonesia. Dalam setiap gelarannya, ribuan pencari kerja berbondong-bondong datang dengan kelengkapan persyaratan dan harapan.

Sayangnya kerapkali hanya untuk bertemu kenyataan pahit bahwa mereka tidak memenuhi kualifikasi perusahaan.

Di sisi lain, perusahaan sering mengeluhkan kurangnya calon dengan keterampilan yang sesuai kebutuhan.

Maka, muncul pertanyaan besar yakni apakah masalahnya terletak pada kurangnya platform seperti job fair, atau pada ekosistem tenaga kerja di Indonesia yang masih belum terintegrasi?

Para pengamat ketenagakerjaan menyoroti bahwa masalah pengangguran di Indonesia tidak semata-mata soal kurangnya kesempatan, melainkan juga soal kurangnya persiapan.

Pendidikan formal yang belum sepenuhnya relevan dengan kebutuhan industri, minimnya pelatihan vokasi yang berorientasi pasar, dan kurangnya kemampuan soft skills menjadi akar masalah yang harus ditangani.

Job fair mingguan mungkin menawarkan kemudahan akses, tetapi akses saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah pendekatan holistik yang melibatkan semua pemangku kepentingan mencakup pemerintah, perusahaan, dan lembaga pendidikan.

Studi Kasus

Bagi perusahaan, bursa kerja adalah peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, ini adalah kesempatan untuk mendapatkan talenta baru.

Di sisi lain, frekuensi mingguan bisa menjadi beban logistik. Apakah perusahaan memiliki kapasitas untuk secara konsisten berpartisipasi setiap minggu? Ataukah langkah ini hanya akan menarik perusahaan kecil dan menengah dengan kebutuhan tenaga kerja yang tinggi, sementara perusahaan besar tetap mengandalkan strategi rekrutmen mereka sendiri?

Beberapa perusahaan menyatakan dukungan terhadap inisiatif ini, tetapi dengan catatan bahwa job fair harus didukung dengan pelatihan tenaga kerja yang relevan.

Faktanya lebih banyak perusahaan mengaku lebih membutuhkan kandidat yang siap kerja, bukan hanya lulusan yang berbekal ijazah.

Jika menengok ke luar negeri sebagai studi kasus, negara-negara seperti Jerman memiliki sistem pendidikan dual track yang mengintegrasikan pelatihan vokasi dengan pendidikan formal.

Hasilnya, tingkat pengangguran di kalangan muda tergolong rendah. Di Jepang, perusahaan aktif dalam melatih karyawan baru, menciptakan ekosistem kerja yang adaptif.

Apa yang bisa dipelajari oleh Indonesia dari mereka? Bahwa mengatasi pengangguran membutuhkan lebih dari sekadar platform, melainkan dibutuhkan kolaborasi, investasi dalam pelatihan, dan kebijakan yang berorientasi jangka panjang.

Solusi Holistik

Bursa kerja mingguan adalah langkah berani, tetapi ia tidak akan bisa berjalan sendirian. Untuk menjadi efektif, langkah ini harus didukung dengan sejumlah langkah pendukung lain.

Di dalamnya termasuk program pelatihan berbasis kebutuhan industri. Pemerintah perlu bekerja sama dengan perusahaan untuk menyusun pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Program seperti ini akan meningkatkan keterampilan pencari kerja dan menjembatani kesenjangan.

Selain itu juga harus ada kemitraan dengan dunia pendidikan. Seiring dengan itu lembaga pendidikan juga harus lebih fleksibel dalam menyesuaikan kurikulumnya dengan kebutuhan industri. Kolaborasi dengan perusahaan untuk menciptakan program magang wajib bisa menjadi solusi.

Kebijakan juga harus terbuka pada evaluasi dan penyesuaian. Frekuensi mingguan bisa jadi terlalu rapat. Mengadakan job fair secara bulanan tetapi dengan persiapan yang matang bisa jadi lebih efektif.

Ke depan juga perlu ada upaya untuk lebih fokus pada digitalisasi. Di era digital, platform daring seperti portal pekerjaan yang terintegrasi dan interaktif bisa melengkapi bursa kerja konvensional.

Namun, untuk memastikan angkatan kerja terserap dalam pasar tenaga kerja maka perlu langkah nyata yang lebih dari sekadar menyelenggarakan job fair mingguan.

Dibutuhkan upaya menyeluruh yang menjadikan setiap tenaga kerja Indonesia siap berkompetisi, bukan hanya di Tanah Air, tetapi juga di level global.

Inilah tantangan bersama untuk mengemas sebuah kebijakan menjadi langkah solusi yang dampaknya lebih efektif, lebih jauh, lebih besar, dan lebih terarah.

Baca juga: Menaker akan bikin job fair setiap minggu untuk kurangi pengangguran
Baca juga: Menaker sosialisasikan JKP dan hadirkan job fair tekan pengangguran
Baca juga: Menaker serukan dunia usaha mengembangkan keterampilan tenaga kerja
Baca juga: Kementerian Ketenagakerjaan optimalkan BLK untuk serap tenaga kerja
Baca juga: Menekan angka pengangguran di tengah ancaman gelombang PHK

Copyright © ANTARA 2024