naskah (I La Galigo) ini memiliki pengaruh besar dalam memahami masa lalu peradaban Bugis
Pewarisan I La Galigo
Sayangnya, pewarisan I La Galigo menghadapi ancaman seiring pudarnya pengetahuan lokal tentang teks-teks kuno Bugis, serta rendahnya penguasaan masyarakat terhadap bahasa dan aksara Lontarak. Aksara Lontara Bugis, yang sering disebut ukiq sulappaq eppaq (huruf segi empat), dipercaya merupakan turunan dari aksara Pallawa yang kini jarang dipahami oleh generasi muda.
Selain itu, sebagian besar naskah asli I La Galigo tersimpan di luar negeri, terutama di Universitas Leiden, Belanda, yang menyulitkan akses bagi masyarakat dan peneliti lokal meskipun mereka telah mendigitalisasi dan membuka aksesnya secara luas kepada masyarakat.
Di sisi lain, kurangnya integrasi materi tentang I La Galigo dalam kurikulum pendidikan nasional juga menjadi alasan penting mengapa epos ini kurang mendapatkan perhatian generasi muda.
Maka, meski telah dipentaskan di berbagai negara melalui produksi internasional yang dipimpin oleh Robert Wilson, pementasan I La Galigo di Indonesia masih terbatas sehingga masyarakat kurang familier dengan cerita ini.
Meskipun demikian, ada banyak peluang untuk menghidupkan kembali I La Galigo di tengah masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah melalui integrasi I La Galigo dalam kurikulum pendidikan.
Materi tentang epos ini dapat diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, Sejarah, atau Budaya Lokal, untuk memperkenalkan generasi muda pada warisan leluhur mereka yang agung.
Selain itu, adaptasi I La Galigo ke dalam berbagai medium modern seperti film, serial televisi, atau pertunjukan seni berbasis teknologi dapat menjadi cara yang efektif untuk menjangkau khalayak yang lebih luas.
Digitalisasi naskah-naskah I La Galigo juga sangat diperlukan untuk mempermudah akses publik dan peneliti.
Digitalisasi ini dapat melibatkan kolaborasi antara Pemerintah, universitas, dan lembaga internasional, seperti yang telah dilakukan oleh Universitas Leiden dalam proyek digitalisasi arsip-arsip Nusantara.
Dengan demikian, masyarakat luas dapat menikmati keindahan sastra ini tanpa terkendala oleh lokasi atau keterbatasan akses terhadap naskah fisik.
Pementasan seni yang menampilkan I La Galigo juga dapat diintensifkan, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Festival budaya yang menjadikan I La Galigo sebagai tema utama juga berpotensi menarik perhatian publik dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya melestarikan epos ini.
Festival semacam ini tidak hanya akan memperkenalkan I La Galigo kepada masyarakat, tetapi juga mendorong pariwisata budaya yang dapat memberikan dampak ekonomi bagi daerah setempat.
Selain itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menggali lebih dalam nilai-nilai filosofis, historis, dan sosiologis yang terkandung dalam I La Galigo.
Hasil penelitian ini dapat menjadi landasan untuk pengembangan kebijakan budaya dan pendidikan, sekaligus memperkaya literatur akademik tentang warisan budaya Indonesia.
Menghidupkan kembali I La Galigo bukan sekadar upaya melestarikan sebuah karya sastra kuno, melainkan juga langkah strategis untuk menjaga identitas bangsa di tengah arus modernisasi.
Epos ini adalah cerminan dari kebijaksanaan lokal yang sarat dengan nilai-nilai universal, menjadikannya relevan bagi semua generasi. Dengan memahami dan menghargai I La Galigo, Indonesia tidak hanya melindungi warisan budaya yang berharga, tetapi juga memperkuat posisi budaya Nusantara di kancah global.
Sebagaimana pepatah Bugis yang menyebutkan Narekko tenri sirikmu, esokko sirikna pabbainimu atau “Jika kamu tidak punya rasa malu, kamu akan kehilangan kehormatanmu” maka Indonesia harus menjaga martabat budayanya dengan merawat dan menghidupkan warisan termasuk I La Galigo.
Sebab, warisan budaya ini adalah harta karun yang menjadi jembatan penghubung ingatan masa lalu, masa kini, dan masa depan bangsa.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024