Jakarta (ANTARA) - Penelitian terkini menyebutkan kelainan ginekologi umum seperti endometriosis dan fibroid uterus, dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian dini.

Ditulis laman Medical Daily, Jumat (22/11), angka kematian dini karena sebab apa pun untuk wanita dengan endometriosis yang terkonfirmasi adalah 2 per 1.000 orang per tahun, dibandingkan dengan 1,4 per 1.000 untuk mereka yang tidak mengidapnya.

Setelah memperhitungkan faktor-faktor seperti usia, berat badan, kualitas diet, aktivitas fisik, dan status merokok, individu dengan endometriosis 31 persen lebih mungkin meninggal dini (sebelum usia 70 tahun) dibandingkan dengan mereka yang tidak mengidap gangguan ini. Mayoritas kematian itu disebabkan oleh kanker ginekologi.

Baca juga: Dokter: Obesitas salah satu faktor risiko kanker rahim

Walaupun fibroid rahim tidak dikaitkan dengan kematian dini karena segala sebab, kondisi tersebut meningkatkan risiko kematian akibat kanker ginekologi.

Sementara selama 30 tahun, terdapat 4.356 kematian dini, termasuk 1.459 akibat kanker dan 304 akibat penyakit kardiovaskular.

Endometriosis adalah kelainan reproduksi kronis yang menyerang sekitar 10 persen wanita usia reproduksi. Kondisi itu terjadi ketika jaringan yang mirip dengan lapisan rahim tumbuh di luar rahim, yang menyebabkan gejala seperti nyeri haid yang parah, nyeri panggul kronis, kembung, mual, kelelahan, dan infertilitas.

Tidak ada obat permanen untuk kondisi itu sehingga pengobatannya melibatkan penanganan gejala.

Fibroid adalah pertumbuhan nonkanker pada dinding rahim yang dapat menyebabkan gejala seperti perdarahan menstruasi berat, nyeri punggung, dan sering buang air kecil. Sekitar 40 persen hingga 80 persen wanita memiliki fibroid rahim.

"Wanita yang memiliki riwayat endometriosis dan fibroid rahim mungkin memiliki risiko kematian dini jangka panjang yang meningkat hingga melampaui masa reproduksinya," para peneliti menyimpulkan.

Kondisi itu juga dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian akibat kanker ginekologi. Endometriosis dikaitkan dengan risiko kematian non-kanker yang lebih tinggi.

"Temuan ini menyoroti pentingnya bagi penyedia layanan kesehatan primer untuk mempertimbangkan gangguan ginekologi ini dalam penilaian kesehatan wanita," tulis mereka dalam penelitian yang dipublikasikan di jurnal BMJ.

Dalam studi berskala besar , para peneliti menganalisis 110.091 wanita dari Nurses' Health Study II, berusia 25-42 tahun pada 1989. Para peserta tidak pernah menjalani histerektomi, penyakit kardiovaskular, atau kanker sebelumnya.

Diagnosis endometriosis (melalui laparoskopi) dan fibroid (melalui USG atau histerektomi) dilaporkan sendiri setiap dua tahun sejak tahun 1993.

Para peneliti memperingatkan bahwa studi itu bersifat observasional yang mengandalkan data yang dilaporkan sendiri sehingga entan terhadap kesalahan. Selain itu peserta studi sebagian besar adalah pekerja kesehatan kulit putih sehingga emuan mungkin tidak dapat digeneralisasikan kepada populasi lain.

Baca juga: RI kejar pembangunan jejaring siklotron, perkuat penanganan kanker

Baca juga: Tingkat kelangsungan hidup pengidap kanker di China meningkat

Baca juga: Onkolog: Skrining gratis jadi upaya baik deteksi kanker sedini mungkin

Penerjemah: Fitra Ashari
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2024