Jakarta (ANTARA) - Ramen yang dikenal sebagai makanan khas asal Jepang, menjadi salah satu kuliner yang banyak disukai oleh orang Indonesia. Lantas, apa itu ramen dan bagaimana asal-usulnya?

Hidangan makanan ini terdiri dari mie berbahan dasar tepung terigu yang disajikan dalam kuah yang kaya rasa kaldu, lalu ditambah dengan topping, seperti daging, telur, sayuran, hingga nori (rumput laut).

Bentuk mie ramen lebih tipis dan kecil dibandingkan dengan mie Udon, walaupun kedua mie tersebut sama-sama berwarna kuning.

Ramen sangat populer dari segi citra rasa yang dimilikinya. Di Jepang, kuah kaldu ramen berasal dari kaldu tulang dan lemak babi. Dengan berbagai ide sajian baru, kini kuah kaldu ramen diolah dari kaldu ayam atau udang.

Baca juga: Merasakan pengalaman berbeda makan ramen di Haraku Ramen

Sejarah dan asal usul ramen

Ramen merupakan hidangan makanan yang memiliki akar sejarah bermula dari China, lalu tersebar ke Jepang hingga menjadi budaya makanan masyarakat Negara Sakura tersebut.

Berawal dari tahun 1859, masuknya budaya China dan negara barat lainnya karena telah dibukanya pelabuhan Jepang. Saat itu pun, aturan larangan makan daging selama 1.200 tahun, sudah dihapuskan.

Budaya China mulai tersebar di Jepang, seperti munculnya restoran China yang menyediakan makanan berupa mie. Hidangan tersebut menjadi populer di kalangan masyarakat Jepang.

Hidangan makanan mie China yang bernama Nankinsoba, yang ada di restoran bernuansa budaya Barat yang berada di wilayah pelabuhan Hakodate bernama Yowaken, diketahui sebagai makanan yang mengawali munculnya ramen, walaupun banyak yang belum mengetahui bentuknya karena tidak ada peninggalan foto dari makanan tersebut.

Selama setahun, terdapat 12 ribu siswa asal China yang datang ke Jepang untuk mempelajari sistem barat yang ada di Jepang. Lalu, ada beberapa dari siswa tersebut merasa tidak cocok dengan makanan Jepang, sehingga orang-orang China yang berada di Jepang membuka restoran makanan China dengan harga yang murah.

Restoran tersebut mulai populer di wilayah tempat tinggal para siswa China, yakni di Kanda, Ushigome dan Hongo. Namun, tahun 1923 terjadi gempa besar di Kanto, sehingga beberapa koki China mulai pindah ke Tokyo dan mendirikan kedai ramen.

Tidak hanya di Tokyo, ada koki lain yang menetap di wilayah luar Tokyo. Akhirnya, makanan Ramen mulai tersebar dan tercipta ramen lokal Jepang.

Kedai ramen yang pertama kali ada di Jepang didirikan oleh Kanichi Ozaki dan dikenal pada tahun 1910 yang bernama Rairaiken, lokasi kedai berada di Sushiyayokocho, Asakusa.

Baca juga: Menyantap hidangan khas Jepang di restoran Sansho Hotel Kimaya Slipi

Setiap harinya restoran ini berhasil melayani pembeli sebanyak 2.500-3.000 orang dengan pekerja 13 koki asal China dari Nankinmachi dan Yokohama.

Hidangan ramen pun semakin populer dan menjadi makanan pilihan masyarakat Jepang, terutama saat masa Perang Dunia II tahun 1945. Saat itu, Jepang yang masih dalam kuasa Amerika mengalami panen beras yang terpuruk. Lalu, Amerika memutuskan ketersediaan tepung digunakan untuk menu makan siang sekolah dan bantuan darurat saja.
​​​​​​
Oleh sebab itu, aturan larangan membuka kedai makanan diterapkan, namun operasi pengalihan tepung dari pabrik ke pasar tetap berjalan secara tersembunyi untuk pembuatan ramen.

Setelah lima tahun, peraturan pertukaran tepung gandum ditiadakan sekaligus datangnya beberapa masyarakat Jepang yang kembali bertugas dari China. Para pendatang pun membawa budaya hidangan makanan ramen, sehingga tercipta berbagai variasi ramen yang baru.

Seiring waktu makanan ramen semakin berkembang dan memiliki aneka variasi ramen yang semakin modern, namun para pembuat ramen tidak menghilangkan citra rasa asli makanan mie ini.

​​​​​Sehingga, ramen merupakan makanan favorit para pencinta kuliner dan menjadi pilihan makanan yang tepat bagi yang ingin mencoba hidangan Jepang.

Baca juga: Ini 7 restoran ramen yang populer di Jakarta dan alamatnya

Baca juga: Ajisen Ramen Awali Babak Baru Setelah Meraih Gelar sebagai Restoran Ramen "No.1 di Dunia"

Pewarta: Putri Atika Chairulia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2024