Bantul (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta mengadakan Deklarasi Stop Kekerasan Terhadap Perempuan sebagai upaya mengajak masyarakat daerah ini untuk aktif dalam mencegah tindakan kekerasan pada perempuan dan anak.

"Kami berharap masyarakat lebih aktif dalam mencegah potensi kekerasan. Sebab upaya mencegah dan menangani kekerasan pada perempuan dan anak tidak mudah," kata Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Bantul, Ninik Istitarini, dalam keterangannya pada kegiatan tersebut di Bantul, Jumat.

Menurut dia, tanggung jawab dalam pencegahan dan penanganan kekerasan pada perempuan dan anak tidak hanya ada pada instansinya atau Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak (Satgas PPA) semata, namun butuh sinergi dan kolaborasi dari semua pihak.

"Hari ini kami juga menggiatkan kampanye Sapa 129. Ini merupakan layanan pelaporan yang bertujuan untuk memberikan layanan pengaduan, penjangkauan, pengelolaan kasus, akses penampungan sementara, dan mediasi pendampingan korban," katanya.

Sementara itu, Sekretaris Daerah (Sekda) Bantul Agus Budiraharja mengatakan selama 2024 terdapat 86 kasus kekerasan terhadap perempuan, sehingga situasi ini menjadi perhatian bagi pemerintah daerah.

"Hingga saat ini kasus kekerasan di Bantul tercatat ada 160 kasus, rinciannya berjumlah 86 kasus kekerasan perempuan, dan 74 kasus kekerasan terhadap anak. Masih cukup banyak, karenanya ini jadi 'PR' kita bersama," katanya.

Dia mengatakan, kasus kekerasan terhadap perempuan menjadi sebuah "warning" atau peringatan bagi semua pihak, sehingga pencegahan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Bantul harus semakin dikencangkan karena data yang ada serupa fenomena "gunung es".

"Ini seperti fenomena gunung es. Di bawah pasti masih banyak, maksudnya, yang tidak tercatat pasti jauh lebih banyak. Karena masih banyak yang menganggap tidak perlu melapor ketika mendapat kekerasan, malu melapor, atau menganggap kekerasan itu biasa," katanya.

Lebih lanjut Sekda mengatakan, hingga kini perempuan dan anak masih masuk dalam golongan rawan. Meski kesetaraan mulai santer digaungkan, masih banyak perempuan yang terpinggirkan. Begitu pula dengan kasus kekerasan terhadap anak, dampaknya tidak hanya kerugian fisik, tapi juga psikis.

"Bayangkan dampak traumatik seperti apa yang dialami anak-anak yang mendapat kekerasan. Traumanya bisa berkelanjutan, padahal, mereka ini generasi penerus bangsa, masa depan bangsa ada di tangan mereka," katanya.

Baca juga: Sinergi multipihak penting tangani kekerasan perempuan dan anak
Baca juga: Menteri Arifah Fauzi ajak masyarakat berani laporkan kekerasan

Pewarta: Hery Sidik
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024