Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan penyidik bisa melakukan penjemputan untuk menghadirkan Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) periode 2021-2024 Sahbirin Noor (SN) sebagai saksi penyidikan dugaan suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemprov Kalsel.
"Secara normatif di mekanisme aturan, saksi yang tidak memberikan keterangan atau alasan ketidakhadirannya yang dapat dipertanggungjawabkan, dapat dilakukan penjemputan," kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat.
Aturan soal jemput paksa tersebut tertuang dalam Pasal 112 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya”.
Penyidik KPK diketahui sudah dua kali melakukan pemanggilan terhadap yang bersangkutan yakni pada Senin (18/11), sedangkan pemanggilan kedua terhadap Sahbirin dijadwalkan hari ini, yakni Jumat (22/11).
Namun pada kedua pemanggilan tersebut, yang bersangkutan tidak hadir tanpa memberikan alasan soal ketidakhadirannya kepada penyidik.
Saat dikonfirmasi apakah penyidik KPK akan melakukan penjemputan terhadap Sahbirin, Tessa mengatakan hal tersebut akan menjadi keputusan penyidik.
"Apabila pertanyaan selanjutnya apakah yang bersangkutan akan dilakukan penjemputan paksa, maka tentunya hal ini diserahkan sepenuhnya kepada penyidik," ujarnya.
Penyidik KPK pada Minggu (6/10) malam menggelar operasi tangkap tangan (OTT) terhadap enam orang terkait penyidikan dugaan korupsi suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemprov Kalsel.
Enam orang yang terjaring operasi tangkap tangan tersebut adalah Kadis PUPR Kalsel Ahmad Solhan (SOL), Kabid Cipta Karya Dinas PUPR Kalsel Yulianti Erlynah (YUL), Bendahara Rumah Tahfidz Darussalam Ahmad (AMD), dan Plt. Kabag Rumah Tangga Gubernur Kalsel Agustya Febry Andrean (FEB).
Kemudian dua orang lainnya yang berasal dari pihak swasta yakni Sugeng Wahyudi (YUD) dan Andi Susanto (AND).
Pihak KPK kemudian langsung menetapkan status tersangka dan melakukan penahanan terhadap enam orang tersebut.
Dalam operasi tangkap tangan tersebut penyidik KPK menyita uang tunai sebanyak Rp12.113.160.000 dan 500 dolar AS yang diduga sebagai uang suap.
Atas penerimaan suap tersebut, para tersangka kemudian melakukan rekayasa agar proses lelang dimenangkan oleh pihak yang memberikan fee.
Rekayasa tersebut dilakukan, antara lain dengan cara membocorkan harga perkiraan sendiri dan kualifikasi perusahaan yang disyaratkan pada lelang.
Kemudian merekayasa proses pemilihan e-katalog agar hanya perusahaan tertentu yang dapat melakukan penawaran, menunjuk konsultan yang terafiliasi dengan pemberi suap, dan pelaksanaan pekerjaan sudah dikerjakan lebih dulu sebelum tanda tangan kontrak.
Proyek yang menjadi objek perkara tersebut adalah pembangunan lapangan sepak bola di Kawasan Olahraga Terintegrasi Provinsi Kalsel senilai Rp23 miliar, pembangunan Gedung Samsat Terpadu senilai Rp22 miliar, dan pembangunan kolam renang di Kawasan Olahraga Terintegrasi Provinsi Kalsel dengan nilai Rp9 miliar.
Para tersangka yang berstatus penyelenggara negara dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 11, atau 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan dua pihak swasta dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Baca juga: KPK sebut Sahbirin Noor belum penuhi panggilan penyidik
Baca juga: KPK periksa empat saksi soal pemberian uang ke Sahbirin Noor
Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024