Jakarta (ANTARA) - Terhitung 15 tahun sudah lamanya Undang-Undang (UU) Narkotika tak kunjung direvisi. Padahal seiring perkembangan zaman, berbagai jenis narkotika pun makin bervariasi.
Kian beragamnya jenis narkotika saat ini menyebabkan UU Narkotika yang ada sudah ketinggalan zaman dan sulit menjadi dasar hukum yang kuat dalam proses tindak pidana terhadap pelaku yang membawa narkotika jenis baru.
Sebut saja, zat psikoaktif baru atau New Psychoactive Substances (NPS) yang kini sedang marak dan belum masuk dalam daftar jenis maupun golongan narkoba pada UU Narkotika.
NPS merupakan narkoba sintetis yang dibuat dengan cara mengembangkan jenis kimia baru agar tetap aman beredar tanpa dicurigai pihak berwenang.
Salah satu modus produsen obat terlarang yang belakangan heboh diperbincangkan, yakni adanya pemasukan NPS ke dalam rokok elektrik (vape). Dengan mengedarkan NPS melalui cairan rokok elektrik, tentunya akan menyulitkan pihak berwenang dalam melacak barang terlarang itu.
Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat hingga tahun 2024, perkembangan NPS di dunia mencapai sebanyak 1.247 jenis, sedangkan di Indonesia terdapat 167 jenis NPS yang sudah terindikasi beredar.
Konsultan The National Addictions Management Service, Institute of Mental Health, Singapura Dr. Mohamed Zakir Karuvetil menyebutkan bahwa NPS secara kimiawi mirip dengan obat psikoaktif kuat dan adiktif lainnya seperti metamfetamin, heroin, ganja, dan kokain.
Namun, narkoba jenis sintetis tersebut memiliki efek yang lebih buruk dibandingkan narkotika alami seperti ganja, heroin, dan kokain.
Adapun dalam UU Narkotika, terdapat 163 jenis narkotika dalam tiga golongan yang diatur. Dengan adanya revisi UU Narkotika, NPS bisa ditambahkan ke dalam daftar golongan jenis tersebut dan penegakan hukum terkait pelaku dan pengedar NPS bisa memiliki payung hukum yang kuat.
Di sisi lain, masalah kepadatan lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) pun masih menjadi perhatian karena 52,97 persen penghuni lapas dan rutan atau sebanyak 135.823 orang terjerat kasus penyalahgunaan narkoba.
Kementerian Hukum dam HAM (Kemenkumham) melaporkan per April 2024, terdapat 271.385 orang yang mendekam di lapas maupun rutan se-Indonesia. Namun, daya tampung seluruh lapas dan rutan di Indonesia hanya sebanyak 140.424 orang.
Akibatnya, terjadi kelebihan 97 persen penghuni lapas dan rutan jika dibandingkan dengan daya tampungnya. Dengan kondisi kepadatan yang sangat luar biasa itu, berbagai kasus pengendalian jaringan narkotika dari dalam lapas karena adanya narapidana kasus narkoba yang masih memiliki alat komunikasi dan jaringan pun tak terhindarkan.
Belum lagi, angka prevalensi penyalahgunaan narkotika di Indonesia saat ini masih mencapai 1,73 persen atau 3,3 juta jiwa pada 2023. Meskipun menurun dari tahun 2022 yang sebesar 1,95 persen atau 3,6 juta orang, angka itu harus terus ditekan agar tidak terjadi peningkatan dan sebisa mungkin diturunkan, lantaran satu jiwa saja yang bebas dari pusaran penyalahgunaan narkotika sangat berharga.
Melalui revisi UU Narkotika, masalah kepadatan lapas dan rutan serta angka prevalensi penyalahgunaan narkotika tentunya bisa diatasi. Pasalnya dalam revisi UU Narkotika, hukuman kepada pemakai narkotika akan cenderung diberikan melalui keadilan restoratif atau restorative justice berupa rehabilitasi.
Melalui aturan tersebut, pengguna narkotika akan diberikan pembinaan di tempat rehabilitasi. Kondisi itu berbeda dengan hukuman yang diberikan kepada kurir maupun bandar narkotika sehingga akan mengurangi kepadatan di lapas dan rutan.
Pemisahan hukuman pemakai narkotika dengan kurir dan bandar narkotika juga akan menutup celah peredaran narkotika di lapas dan rutan sehingga pada akhirnya menurunkan angka prevalensi narkotika di Indonesia.
Keadilan restoratif
Revisi UU Narkotika akan memperkuat implementasi pendekatan keadilan restoratif kepada pengguna narkotika karena selama ini penerapan pendekatan tersebut masih terpisah-pisah aturannya sesuai lembaga yang mengimplementasikan.
Saat ini, Rancangan UU (RUU) Narkotika dan Psikotropika, yang merupakan usulan pemerintah, telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025–2029.
Oleh karena itu, RUU tersebut akan diprioritaskan pembahasannya dan diharapkan segera disetujui DPR untuk disahkan dalam 5 tahun ke depan karena sebenarnya revisi UU Narkotika sudah lima kali masuk daftar Prolegnas Prioritas sejak tahun 2020.
Selain itu, nantinya akan ada pula penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru pada 2 Januari 2026, yang turut mengatur keadilan restoratif sebagai salah satu alternatif pemidanaan. KUHP terbaru itu bakal menjadi salah satu payung hukum yang kuat dalam penerapan keadilan restoratif.
Keadilan restoratif merupakan pendekatan dalam penyelesaian perkara yang melibatkan pelaku, korban, dan masyarakat, untuk memperbaiki kerusakan akibat kejahatan dan memulihkan keadaan semula, bukan untuk pembalasan.
Di Indonesia, pendekatan keadilan restoratif sudah diterapkan dalam hukum perdata. Namun dengan KUHP baru, keadilan restoratif diatur pula untuk menyelesaikan hukum pidana.
Walakin, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menekankan bahwa tidak semua tindakan pidana bisa diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif.
Khusus tindak pidana narkotika, pendekatan keadilan restoratif dapat diterapkan hanya kepada pengguna barang haram itu, bukan pada kurir maupun bandarnya.
Namun demikian, dengan kecenderungan hukuman rehabilitasi kepada pemakai narkotika nantinya, akan ada potensi masalah lainnya yang muncul berupa masyarakat sekitar tempat rehabilitasi yang merasa janggal dengan adanya pemakai narkotika di lingkungannya karena selama ini para pemakai narkotika tersebut ditahan di dalam lapas.
Maka dari itu Pemerintah akan hati-hati dan tidak gegabah dalam menerapkan keadilan restoratif ini. "Kami membutuhkan suatu pemikiran yang mendalam juga terkait hal ini," ujar Yusril.
Dalam pendekatan keadilan restoratif atau dekriminalisasi terhadap pengguna narkotika, Indonesia dapat mengacu pada keberhasilan program pemerintah Portugal.
Portugal mengeklaim bahwa penerapan prinsip menghilangkan ancaman hukuman pidana terhadap para pelaku penyalahguna narkotika dibarengi dengan perubahan stigma negatif masyarakat terhadap pecandu menjadi salah satu faktor penunjang keberhasilan negara itu dalam penanganan penyalahgunaan narkotika.
Oleh karenanya, para pecandu dengan kesadaran sendiri mau menjalani pengobatan dan lebih mudah mendapatkan layanan pengobatan karena pemerintah menyiapkan fasilitas pengobatan dan tenaga medis yang memadai.
Selain itu dalam pelaksanaan pendekatan kesehatan terhadap pengguna narkotika di Portugal, siapa pun yang tertangkap dengan persediaan narkotika (termasuk ganja dan heroin) kurang dari 10 hari pemakaian perorangan akan langsung ditangani oleh Komisi Pemberantasan Kecanduan Narkoba atau Commision for the Dissuassion of Drug Addiction (CDA).
CDA merupakan suatu lembaga atau komisi yang bertugas melakukan penilaian terhadap orang yang menggunakan narkotika dan berhadapan dengan hukum serta akan diselesaikan dengan menggunakan pendekatan dekriminalisasi.
Komisi tersebut terdiri atas dokter, psikolog, pengacara, dan pekerja sosial, yang telah belajar tentang pengobatan dan layanan medis terhadap pecandu.
Keberadaan CDA di Portugal hampir sama dengan Tim Asesmen Terpadu (TAT) di Indonesia, hanya berbeda dalam hal: Pertama, CDA diatur dalam UU, sementara TAT hanya diatur dalam Peraturan Bersama 7 Menteri dan Pimpinan Lembaga Setingkat Menteri.
Akibatnya, kekuatan hukum dan kewenangan CDA jauh lebih kuat dan lebih mengikat bila dibandingkan dengan TAT.
Perbedaan kedua, yakni keputusan CDA bersifat final, mengikat, dan imperatif, sedangkan keputusan TAT tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan imperatif.
Oleh karena itu, nantinya RUU Narkotika dan Psikotropika harus bisa memperkuat peran TAT dalam menangani penyalahguna narkotika dan pada akhirnya memberantas narkotika hingga ke akarnya.
Editor: Achmad Zaenal M
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024