Krisis iklim adalah isu feminis karena ada diferensiasi atau ada pembedaan dampak perubahan iklim bagi perempuan dari berbagai kelompok sosial

Jakarta (ANTARA) - Ketua Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia (UI) Mia Siscawati memandang bahwa krisis iklim bukan hanya permasalahan lingkungan, sosial, bahkan politik, melainkan juga memiliki kaitan yang erat dengan isu feminis.

“Krisis iklim adalah isu feminis karena ada diferensiasi atau ada pembedaan dampak perubahan iklim bagi perempuan dari berbagai kelompok sosial,” kata Mia dalam diskusi secara daring di Jakarta, Kamis.

Ia mengingatkan krisis iklim dapat melanggengkan dan mendorong pelanggaran HAM perempuan, kekerasan berbasis gender, dan kekerasan seksual. Penyebab perubahan iklim secara struktural dan kultural berkelindan erat dengan ketidakadilan gender, ketidakadilan sosial, maupun eksklusi sosial.

“Dan bicara kebijakan maupun program terkait perubahan iklim, kita akan selalu bertanya, di mana posisi perempuan, di mana posisi kelompok rentan, kelompok marginal, termasuk di dalamnya tentu saja individu-individu yang memiliki beragam identitas sosial. Selain posisi, lalu suara siapa yang didengar sebetulnya,” kata dia.

Mia menjelaskan perempuan perlu dilihat bukan sebagai identitas yang homogen. Jika ditelusuri lebih dalam, kelompok perempuan memiliki identitas yang sangat beragam yang juga memungkinkan mereka untuk mendapatkan perlakuan diskriminasi maupun ekseklusi sosial.

Ada beberapa hak perempuan yang rentan dilanggar dalam kaitannya dengan krisis iklim antara lain hak atas hidup, hak atas udara bersih, hak atas air bersih, hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas tempat tinggal yang layak, dan seterusnya.

Baca juga: Bappenas tekankan penguatan pembangunan desa untuk hadapi krisis iklim

Ia mengatakan kerusakan lingkungan atau krisis iklim dalam konteks tertentu juga mendorong kekerasan berbasis gender KBG. Tak sampai di situ, KBG dan pelanggaran HAM perempuan tidak hanya terjadi dalam persoalan kerusakan lingkungan dan krisis iklim, tetapi juga terjadi dalam upaya mengatasi krisis iklim.

Mia mengingatkan negara memiliki kewajiban untuk mengatasi KBG dan pemenuhan HAM perempuan dalam krisis iklim. Salah satu kewajiban tersebut yaitu mitigasi perubahan iklim serta mencegah dampak KBG dan pelanggaran HAM perempuan dalam mitigasi krisis iklim.

Kemudian, kewajiban negara lainnya antara lain mengupayakan agar setiap perempuan dapat membangun kapasitas adaptasi krisis iklim, menjamin pemulihan korban KBG dan pelanggaran HAM perempuan akibat perubahan iklim.

Lalu memobilisasi sumber daya untuk pembangunan berkelanjutan berbasis HAM perempuan, mencegah KBG dan pelanggaran HAM perempuan oleh perusahaan terutama perusahaan yang memiliki konsesi atas ekstrasi industri sumber daya alam, serta menjamin partisipasi perempuan dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

“Apakah ini (kewajiban negara) sudah dilaksanakan? Ini pertanyaan yang bisa kita gunakan untuk memeriksa apa yang kemudian terjadi di lapangan,” ujar Mia.

Baca juga: MPR: Optimalkan Kampanye 16 Hari untuk akhiri kekerasan pada perempuan

Di sisi lain, imbuh Mia, para perempuan dari beragam kelompok sosial dan ragam identitas sebetulnya memiliki modal atau kekuatan dalam mengatasi KBG dan pelanggaran HAM perempuan akibat krisis iklim mulai dari pengetahuan perempuan, kepemimpinan perempuan, dan kekuatan solidaritas.

Meskipun terdapat kekuatan yang dimiliki perempuan, Mia mengatakan bahwa tidak bisa dipungkiri masih adanya tantangan salah satunya keterbatasan kehadiran lembaga penyedia layanan penanganan KBG di wilayah-wilayah kerusakan lingkungan dan krisis iklim.

Organisasi-organisasi pendamping isu krisis iklim juga biasanya masih menganggap bahwa upaya mengatasi KBG dan pelanggaran HAM perempuan dan kelompok rentan bukan mandat atau tugas mereka.

Sementara itu, ujar Mia, bisa jadi organisasi perempuan atau organisasi yang mendampingi perempuan masih memiliki keterbatasan untuk bisa memasukkan isu krisis iklim di dalam proses pendampingan, pengorganisasian, atau pemberian layanan terkait dengan penanganan KBG maupun bentuk kekerasan lainnya.

“Dan lagi-lagi, tantangan yang lain terutama tantangan di wilayah-wilayah yang selama ini sudah mengalami proses eksklusi karena ketidakadilan tenurial. Jadi komunitas sudah dieksklusi dalam arti kemudian diambil alih ruang hidup yang diklaim sebagai hutan negara, sebagai lahan negara. Dan ini menjadi tambahan lapisan persoalan termasuk tentu saja miskin kota yang juga punya permasalahan tersendiri,” kata Mia.

Baca juga: Komnas harap penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM, diperpanjang

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024