Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menyatakan berdasarkan kriteria astronomi, hilal (bulan) tak akan mungkin dilihat (dirukyat) pada Minggu 22 Oktober 2006 ketika pemerintah dan ormas Islam melaksanakan rukyatul hilal. "Karena hilal tak akan dapat dilihat, maka umur bulan digenapkan menjadi 30 hari dan Idul Fitri bakal ditentukan pada 24 Oktober," kata Peneliti bidang Astronomi dan Astrofisika LAPAN yang turut dalam Tim Hisab Rukyat Depag, Dr Thomas Jamaluddin, ketika dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat. Menurut dia, ketinggian hilal yang dapat diamati tergantung beda azimut Bulan dan Matahari, sehingga berdasarkan kriteria itu pada 22 Oktober maghrib, hilal terlalu rendah untuk dirukyat kurang dari satu derajat meski sudah di atas ufuk. "Kalau ada yang melaporkan hilal bisa dilihat itu mungkin salah lihat, bisa awan terang yang tipis, cahaya dari pesawat terbang yang memantul, lampu nelayan di kejauhan atau sumber cahaya lainnya," katanya. Soal Muhammadiyah yang telah menetapkan Idul Fitri 1427 Hijriyah, menurut dia, karena Muhammadiyah menggunakan sistem Hisab Wujudul Hilal tanpa perlu rukyat, artinya jika menurut perhitungan, hilal itu sudah di atas ufuk meski hanya setengah derajat, maka keesokan harinya sudah masuk bulan baru (1 Syawal). "Ini berbeda dengan ormas yang mensyaratkan perlunya rukyat atau hilal harus bisa dilihat, sementara itu hilal tak akan bisa dilihat jika di bawah satu derajat," katanya. Ketika ditanya soal PW Nahdlatul Ulama Jawa Timur yang juga memperkirakan Idul Fitri 1427 H jatuh pada Senin, 23 Oktober, atas dasar perhitungan bahwa hilal mungkin bisa dilihat, karena telah berada di atas dua derajat, ia menjawab, hal itu karena PW NU Jatim masih menggunakan metode Hisab Taqribi (approximity/ pendekatan). "Metode ini termasuk hisab klasik yang sederhana dan tidak akurat, tetapi masih banyak digunakan di pesantren di Indonesia. Dengan hasil hisab di atas dua derajat, orang lantas bisa yakin bahwa hilal terlihat," katanya. Peristiwa ini, urainya, mengingatkan kasus Idul Fitri 1998, ketika NU Jatim dan Jateng berlebaran pada 29 Januari seperti Muhammadiyah, sementara NU daerah lainnya menolak kesaksian terlihatnya hilal di Cakung dan Bawean, sehingga bersama pemerintah merayakan idul fitri pada 30 Januari. Ia juga menekankan bahwa Lapan bisa mengakomodasi sistem rukyat maupun sistem hisab, yang keduanya dibenarkan. Namun jika pemerintah menggunakan sistem rukyat selain hisab, mau tidak mau yang digunakan adalah sistem rukyat dengan ketinggian hilal yang bisa dilihat. (*)
Copyright © ANTARA 2006