Jakarta (ANTARA News) - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Chairul Tanjung belum menyetujui kenaikan harga elpiji 12 kilogram, meskipun PT Pertamina berencana menyesuaikan harga elpiji bertabung biru tersebut.

"Pertamina itu tidak bisa menaikkan harga secara semena-mena, karenanya harus melalui proses koordinasi yang baru akan diagendakan setelah 17 Agustus," katanya di Jakarta, Rabu.

Chairul mengatakan rencana Pertamina itu juga harus dirapatkan dahulu dalam sidang kabinet dengan Presiden, meskipun penyesuaian harga elpiji nonsubsidi 12 kilogram itu aksi korporasi.

"Silakan saja mereka bilang begitu (kenaikan harga merupakan aksi korporasi), tapi pemerintah bilang begini, kalau mereka tidak mau menurut pemerintah, ya silakan," tegasnya.

Sementara itu "Vice President Corporate Communication" Pertamina Ali Mudakir mengatakan kenaikan harga elpiji adalah aksi korporasi karena komoditas ini bukan barang subsidi sehingga tidak membutuhkan persetujuan pemerintah.

"Saya juga yakin pemerintah tidak akan mengintervensi ini karena ada konsekuensi bagi pemerintah harus menanggung selisih harga. Itu bisa diperlakukan sebagai barang subsidi, kalau ada intervensi pemerintah," jelasnya.

Ia memastikan kenaikan harga elpiji sudah menjadi bagian dari "peta jalan" Pertamina sejak awal 2014 hingga pertengahan 2016 agar harga elpiji 12 kgbisa mencapai harga keekonomian dengan harga jual saat ini.

Dia menyakini kenaikan harga elpiji 12 kg tidak akan memberatkan konsumen yang rata-rata kelas menengah atas dan jumlahnya hanya 17,5 persen dari seluruh pengguna elpiji.

"Sekarang di Pertamina masih Rp6.500 per kg, di pemasok lain harga elpiji non subsidi rata-rata diatas Rp15 ribu per kg. Secara umum, ada Rp8.000 gapnya. Kami selalu melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa untuk elpiji 12 kg penggunanya masyarakat kelas menengah atas," ujarnya.

Ali mengatakan kenaikan akan dilakukan sebesar Rp1.000 per kg-Rp1.500 per kg dan diharapkan penyesuaian harga dapat menekan kerugian Pertamina dalam menutup selisih harga keekonomian, rata-rata Rp5 triliun per tahun.

Penyesuaian harga itu juga merujuk temuan BPK tentang temuan kerugian hingga Rp5,4 triliun pada tahun lalu atau kerugian dalam lima tahun terakhir mencapai Rp17 triliun, sehingga BPK merekomendasikan Pertamina sebagai BUMN tidak boleh rugi.

Pewarta: Satyagraha
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2014