Gaza (ANTARA) - Kamal Mahdi, seorang anak laki-laki Palestina berusia 14 tahun yang mengungsi di Deir al-Balah, Jalur Gaza bagian tengah, masih ingat dengan "kehidupan indah" sebelum perang di Gaza, seperti bersekolah, bertemu teman-teman sekelasnya, dan bermain bersama teman-teman.

Namun, semuanya berubah setelah 7 Oktober 2023.

"Ayah saya sebelumnya bekerja dan menghasilkan uang untuk menghidupi kami, dan kami memiliki makanan yang sehat, air, dan semua kebutuhan hidup," tutur Mahdi kepada Xinhua.

"Tiba-tiba, tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, kami dipaksa hidup di tengah perang yang mengubah kehidupan kami," imbuhnya, seraya menceritakan bagaimana keluarganya yang beranggotakan enam orang terpaksa mengungsi akibat serangan udara Israel.

Setelah meninggalkan rumah mereka di Gaza City untuk mencari perlindungan di Jalur Gaza bagian selatan, Mahdi merasa menghadapi kematian setiap hari, ketika Israel menyerang semua tempat.

Anak-anak yang mengungsi berdiri di depan tenda di bagian barat laut Khan Younis, Jalur Gaza selatan, pada 12 November 2024. (ANTARA/Xinhua/Rizek Abdeljawad)

Keadaan menjadi lebih buruk lagi, kini makanan dan air bersih menjadi barang mewah. Stasiun air terdekat berjarak beberapa kilometer. Mahdi harus berjalan jauh hanya untuk mengisi seember air asin bagi keluarganya.

"Kami tidak punya pilihan lain," ujar dia.

Sama seperti Mahdi, Sabrin Radi, seorang anak perempuan yang mengungsi di Deir al-Balah, harus berjalan jauh bersama kelima saudaranya untuk mendapatkan roti, beberapa makanan kaleng, dan air.

"Saya rindu dengan makanan dan air yang lezat dan sehat, dan saya merindukan seluruh kehidupan saya sebelum perang. Terlalu berat untuk kehilangan segalanya dan kehilangan hak asasi manusia sebagai anak-anak," ungkap Radi.

Setelah mengungsi hingga 15 kali dalam setahun, gadis berusia 12 tahun itu berkata, "Sepanjang waktu, saya merasa seperti melarikan diri dari kematian menuju takdir yang tak diketahui, dan kami tidak akan pernah kembali ke kehidupan lama kami lagi. Saya takut kehilangan nyawa saya".

Orang-orang yang terpaksa mengungsi dari kota Beit Lahia, Jalur Gaza utara, berada di jalanan Kota Gaza, pada 17 November 2024. (ANTARA/Xinhua/Rahman Salama)

Sejak 7 Oktober 2023, Israel melancarkan serangan besar-besaran di Gaza untuk membalas serangan Hamas yang menewaskan sekitar 1.200 orang di Israel dan menyebabkan 250 orang disandera.

Hingga Selasa (19/11), tentara Israel telah menewaskan 43.972 warga Palestina dan melukai 104.008 lainnya, menurut data yang dirilis oleh otoritas kesehatan yang dikelola Hamas di Gaza.

"Gaza merupakan perwujudan neraka di dunia nyata bagi 1 juta anak-anak di sana. Dan keadaannya semakin buruk dari hari ke hari, karena kita melihat dampak mengerikan dari serangan udara dan operasi militer setiap hari terhadap anak-anak Palestina," kata juru bicara UNICEF James Elder pada Oktober lalu.

Seorang anak menangisi jenazah di area Mawasi, Khan Younis, Jalur Gaza selatan, pada 12 November 2024. (ANTARA/Xinhua/Rizek Abdeljawad)

"Setahun yang lalu, pilihan yang kejam bagi warga sipil adalah menghadapi keadaan serba kekurangan atau melarikan diri ke pengungsian. Saat ini, keadaan serba kekurangan melanda seluruh Gaza. Menjadi pengungsi, sekali lagi, hanya menyebabkan lebih banyak penderitaan dan kondisi yang lebih buruk bagi anak-anak," Elder menambahkan.

"Kami punya hak untuk hidup, bermain, makan, belajar, dan menikmati hidup seperti anak-anak lain di seluruh dunia. Kami menjadi lebih tua dari usia kami sesungguhnya dan kehilangan masa kecil kami karena perang," ujar Adam Seif, seorang anak yang mengungsi di Deir al-Balah.

Penerjemah: Xinhua
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2024