Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) menyampaikan prasyarat kunci meningkatkan pendapatan per kapita setara dengan negara maju di Indonesia pada tahun 2045 adalah menciptakan nilai tambah bagi perekonomian.
“Pada saat kita mengatakan bahwa pendapatan per kapita setara dengan negara maju, ada prasyarat kunci yang kita dorong, bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi ke depan itu harus didasarkan pada penciptaan nilai tambah bagi perekonomian kita,” ucap Deputi Bidang Ekonomi Amalia Adininggar Widyasanti Kementerian PPN/Bappenas dalam acara Proyeksi Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) 2025 di Jakarta, Kamis.
Dalam hal ini, kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) Manufaktur dan PDB Maritim ditargetkan masing-masing mencapai 28 persen dan 15 persen pada tahun 2045, meningkat dari 2025 yang diperkirakan 20,8 persen dan 8,1 persen. Ini berarti industrialisasi harus berjalan di Indonesia.
Terkait PDB Maritim, dia menerangkan bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki lautan luas dan mempunyai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) harus dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Penciptaan nilai tambah (value added creation) yang harus didorong bukan hanya sekedar menjual bahan mentah dari laut, tetapi mengolah kekayaan laut agar bisa menghasilkan produk dengan nilai tambah lebih besar. Dengan begitu, lapangan pekerjaan akan semakin terbuka, menciptakan efek berganda (multiplier effect), hingga memberikan pertumbuhan ekonomi lebih inklusif.
Sebagai contoh, salah satu program besar untuk mendorong PDB Maritim adalah ekonomi biru yang telah menjadi bagian dari program prioritas Asta Cita dari Presiden RI Prabowo Subianto.
Esensi kunci ekonomi biru terdiri dari tiga pilar, yaitu marine protection untuk menjaga kesehatan dan kelestarian laut, lalu menciptakan nilai tambah, dan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.
Misalnya, Indonesia telah menjadi produsen kedua terbesar komoditas rumput laut (seaweed) di dunia sebesar 20 persen, dan peringkat pertama dari China sebesar 60 persen. Kedua negara tersebut memiliki kontribusi 80 persen dalam produksi rumput laut global.
“Pertanyaannya adalah seaweed dalam bentuk apa yang di ekspor Indonesia? Ternyata, kalau kita bedah dari ekspor seawead Indonesia adalah betul-betul ekspor row seaweed (bahan mentah rumput laut) yang kita ekspor. Padahal, seawead kalau kita tahu nilai pohon industrinya itu, kalau kita bedah lagi bagaimana potensi seaweed untuk menjadi produk turunannya, itu sangat luar biasa,” ungkapnya yang akrab disapa Winny.
“Ternyata, seaweed tidak hanya sekedar untuk menjadi kerupuk rumput laut, tetapi ternyata seaweed juga bisa menjadi bahan bioplastik. Investor dari Australia sudah mau masuk ke Indonesia untuk ini. Seaweed juga bisa menjadi nutritious food, seaweed juga bisa menjadi bahan-bahan kosmetik lainnya yang nilai tambahnya luar biasa,” ujar dia.
Baca juga: Bappenas tekankan pentingnya tata kelola pedesaan yang adaptif
Baca juga: Bappenas dorong penerapan indikator keanekaragaman hayati di daerah
Contoh lainnya adalah ada sebuah perusahaan dari Indonesia mampu memproduksi susu dari ikan dengan nilai protein setara dengan susu pada umumnya, dan dapat diminum oleh seseorang yang alergi terhadap laktosa.
Perusahaan itu dapat pula menghasilkan kolagen dari teripang yang dilakukan dengan mengkonsolidasikan para nelayan teripang.
Saat dicari tahu lebih lanjut, ucap Winny, ternyata teripang itu dihasilkan dari kolagen yang diincar oleh perusahaan-perusahaan farmasi dan kosmetik global. Bahkan, sudah ada beberapa perusahaan kosmetik global yang mengakuisisi perusahaan kolagen dari teripang.
“Artinya, potensi luar biasa kita yang miliki ini menjadi modal besar untuk Indonesia tumbuh cepat dalam waktu yang tidak terlalu lama,” kata dia.
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Evi Ratnawati
Copyright © ANTARA 2024