Jakarta (ANTARA) - Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas Handy Yunianto optimistis pasar obligasi Indonesia memiliki prospek yang cerah ke depannya, mengingat kinerjanya yang cukup resilien hingga sejauh ini.

“Meski imbal hasil (yield) US Treasury naik hingga 60 basis poin dalam dua bulan terakhir, imbal hasil obligasi Indonesia hanya naik 40 basis poin. Yield spread kita makin ketat. Ini mengindikasikan pasar kita memang cukup resilien,” kata Anto dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu.

Dia menyebut terdapat tiga faktor yang mendorong ketangguhan pasar obligasi Indonesia.

Pertama, porsi kepemilikan obligasi kini lebih didominasi oleh investor domestik, utamanya investor ritel. Bila sebelumnya obligasi bergantung dengan investor institusi, sekarang terdapat amunisi baru dari sumbangsih investor ritel yang terbilang cukup signifikan.

Baca juga: IHSG ditutup melemah dipimpin sektor teknologi

Baca juga: IHSG diprediksi menguat di tengah rilis suku bunga Bank Indonesia

“Sebagai catatan, porsi kepemilikan asing juga turun drastis dari 40 persen menjadi 15 persen. Ini menjelaskan kenapa korelasi imbal hasil US Treasury dengan obligasi kita makin menurun, karena pasar lebih ditopang oleh faktor domestik,” ucapnya.

Kedua, indikator perekonomian domestik yang cenderung positif, tercermin pada posisi cadangan devisa, pengelolaan fiskal yang tetap bijak, dan inflasi yang tergolong rendah.

“Kalau semua indikator itu digabungkan, kita adalah peringkat keempat dari sisi negara berkembang yang tahan terhadap kenaikan dolar AS maupun imbal hasil US Treasury,” kata dia.

Ketiga, terkait lagi dengan fiskal, terdapat potensi efisiensi anggaran yang lebih rendah dari target pemerintah. Dia melihat kebutuhan pembiayaan pemerintah tercukupi, sehingga lelang Surat Berharga Negara (SBN) nantinya lebih berfokus pada kelebihan pembiayaan dan menambah Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA).

“Harapannya ini akan mengurangi potensi risiko suplai pasar obligasi kita di tahun 2025. Kami melihat ini sesuatu yang positif ke depannya,” tutur dia.

Adapun ke depannya, Anto menilai Indonesia menawarkan nominal imbal hasil yang atraktif dibandingkan dengan risiko kredit dan inflasi yang hanya 1,71 persen yoy. Hal ini membuat Indonesia lebih menarik dibanding negara berkembang lainnya.

“Kami masih mempertahankan pandangan positif. Risiko terbesar memang dari sisi global kalau ternyata Federal Reserve tidak melakukan pemotongan suku bunga. Tapi sejauh ini, kalau kami lihat data, suku bunga AS turun masih sangat terbuka,” ujarnya.*

Baca juga: Analis: Penerbitan obligasi hijau BNI bisa jadi acuan perbankan

Baca juga: IHSG ditutup menguat ikuti bursa kawasan Asia

Pewarta: Imamatul Silfia
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2024