Palu (ANTARA News) - Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Pol Drs Paulus Purwoko, minta media massa di dalam negeri ikut mendinginkan situasi Poso di Sulawesi Tengah (Sulteng), dengan menyajikan informasi yang mempercepat proses pembauran antarkedua kelompok yang pernah bertikai di bekas daerah konflik tersebut. "Saya kira kita semua, termasuk media massa, memiliki tanggungjawab moral untuk menciptakan iklim kondusif di wilayah Poso," katanya seusai buka puasa bersama jajaran Polda sulteng dengan pimpinan media massa dan para wartawan di Palu, Kamis. Menurut mantan Komandan Koopskam Sulteng ini, cukup banyak berita yang disuguhkan media massa, terutama pasca pelaksanaan eksekusi terhadap Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu --ketiganya terpidana mati kerusuhan Poso-- pada 22 September 2006, ikut mengganggu kehidupan masyarakat di wilayah Poso. Ia mencontohkan pemberitaan sebuah jaringan televisi yang mengungkapkan hasil visum atas jenazah Fabianus Tibo yang dilakukan oleh Puskesmas Beteleme di Kabupaten Morowali dengan hanya mengacu pada pendapat sebuah LSM. "Dalam pemberitaan itu disebutkan bahwa Tibo sebelum dieksekusi terlebih dahulu mengalami penganiayaan. Ini sangat fatal, sebab belakangan Pak Kapolda (Brigjen Pol Drs Badrodin Haiti) ketika berkunjung ke Taripa justru menjadi sasaran amuk massa," tuturnya. Menurut Purwoko, seharusnya informasi yang demikian itu sebelum disiarkan terlebih dahulu dilakukan "recheck" kepada pihak berwenang di kepolisian, sebab informasi sepihak tersebut ternyata belakangan sama sekali tidak benar. "Buktinya, dari hasil visum yang dibuat oleh seorang dokter di Puskesmas tersebut yang saya baca, sama sekali tidak menyebutkan adanya tidak kekerasan ditemukan pada jenazah Tibo," katanya. Purwoko mengakui bahwa persaingan di dunia pers dewasa ini begitu tajam, sehingga media massa berlomba-lomba mencari informasi aktual untuk disuguhkan dengan segera kepada pembaca atau pemirsa. "Tapi seyogyanya kecepatan itu tidak mengabaikan ketepatan dan keakuratan, apalagi sampai berita yang disuguhkan menimbulkan reaksi di tengah masyarakat," pintanya. Ia juga mempersilahkan media massa untuk mengangkat fakta-fakta yang terjadi di Poso, namun fakta yang disuguhkan harus berimbang dan tidak merugikan masyarakat luas, apalagi sampai menimbulkan ketegangan baru antarkedua kelompok yang pernah bertikai di sana. Pemerintah dan aparat juga, lanjut dia, tidak alergi dengan kritik. "Silahkan melakukan kritik, tetapi perlu dilakukan dengan cara-cara santun dan berbudaya, sebab salah satu unsur yang harus tidak dilupakan media massa adalah bagaimana memberikan pendidikan kepada masyarakat," tutur Purwoko menambahkan. Permintaan senada disampaikan Kapolda Sulteng Brigjen Pol Drs Badroddin Haiti. Ia mengungkapkan bahwa masyarakat di Kabupaten Poso hingga kini sangat sentitif dalam menanggapi sesuatu, termasuk ketika membaca dan melihat berita media massa atau "orang baru". "Kemungkinan kejadian (kerusuhan) masa lalu yang membuat mereka demikian, dan masalah psikologis ini perlu dicermati media massa," tuturnya. Kapolda menggambarkan keluhan seorang wartawan yang mengaku kesulitan masuk di desa Tangkura kecamatan Poso Pesisir, karena warga di sini tak bersedia menerima wartawan akibat adanya pemberitaan soal bom yang meledak dan menewaskan seorang penduduk sipil. "Berita yang mengungkapkan bahwa bom yang meledak itu dibawa sendiri oleh korban, telah membuat warga setempat merasa terganggu," ujarnya dengan menambahkan bahwa "ketertutupan" yang sama terhadap wartawan juga diberlakukan oleh penghuni Pondok Pesantren Walisongo di Kelurahan Sintuwu Lembah, Kecamatan Lage (Poso). "Namun yang terpenting adalah bagaimana media massa aktif mendorong masyarakat di Poso untuk kembali hidup damai dan berdampingan satu sama lain," pinta Kapolda seraya menambahkan "kasihan daerah kita ini oleh masyarakat di luar sana masih dianggap sebagai daerah rawan konflik, sehingga telah mengganggu arus investasi di Sulteng".(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006