Pilihan masyarakat sangat fluid atau cair sehingga ada banyak faktor yang mempengaruhi pilihan individu dalam memilih perguruan tinggi di tiap wilayah

Jakarta (ANTARA) - Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mengatakan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi tidak linier dengan jumlah perguruan tinggi di setiap daerah.

Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kemenko PMK Warsito menerangkan perguruan tinggi merupakan bagian dari level nasional sehingga tidak berhubungan langsung kepada seluruh lapisan masyarakat.

Baca juga: Kemenko PMK: Sinergi kementerian kunci sukses Makan Bergizi Gratis

Di sisi lain, pilihan masyarakat sangat fluid atau cair sehingga ada banyak faktor yang mempengaruhi pilihan individu dalam memilih perguruan tinggi di tiap wilayah.

“Namun, saya juga menggarisbawahi sebagai pengantar bahwa APK di suatu wilayah itu tidak linier dengan jumlah perguruan tinggi yang ada di daerah tersebut karena memang perguruan tinggi itu levelnya nasional. Jadi hubungannya langsung kepada seluruh lapisan masyarakat, tidak kewilayahan,” kata Warsito dalam kegiatan Strategi Pencapaian APK Pendidikan Tinggi melalui Optimalisasi Pengelolaan Beasiswa di Era Kepemimpinan Baru di Jakarta pada Rabu.

Pada kesempatan itu, ia pun menyebutkan target APK untuk 2035 adalah 45 persen dan 2045 adalah 60 persen, sementara tahun ini angka tersebut baru berada di kisaran 31 hingga 36 persen.

Oleh karena itu, ia meminta seluruh pihak, khususnya organisasi maupun lembaga penyedia beasiswa untuk bergotong royong meningkatkan angka partisipasi masyarakat agar menempuh jenjang pendidikan tinggi.

Baca juga: Posyandu dan Puskesmas garda terdepan pencegahan stunting

Warsito meminta para organisasi dan lembaga penyedia beasiswa agar lebih inovatif dan responsif dalam menyediakan beasiswa kepada masyarakat yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi, khususnya yang tengah menempuh pendidikan tinggi.

Di samping itu, ia juga menyarankan agar persyaratan dalam prosedur maupun skema seleksi beasiswa dirancang lebih luwes dan adaptif, mulai dari syarat minimum masa studi hingga indeks prestasi kumulatif (IPK) mahasiswa.

“Permasalahan putus kuliah itu mungkin di tengah jalan karena nggak bisa bayar UKT. Kemudian mungkin di tengah jalan juga mau skripsi tidak bisa karena tidak ada biaya. Nah, ini yang saya maksudkan teman-teman pengelola beasiswa untuk responsif, adaptif, inovatif dan luwes dalam menyusun persyaratan,” jelasnya.


Baca juga: Kemenko PMK: Program MBG dukung pengoptimalan pangan lokal

Pewarta: Hana Dewi Kinarina Kaban
Editor: Sambas
Copyright © ANTARA 2024