Banda Aceh (ANTARA) - Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Aceh menyebut apoteker menjadi garda terdepan dalam upaya mencegah dan mengendalikan resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR) di tengah masyarakat melalui fasilitas pelayanan kefarmasian.
“Apoteker adalah garda terdepan yang mengendalikan resistensi antibiotik di sarana pelayanan pelayanan kefarmasian,” kata Kepala BBPOM Aceh Yudi Noviandi di Banda Aceh, Rabu.
Yudi mengatakan, baru-baru ini BBPOM Aceh menggelar webinar yang bertajuk apoteker garda depan dalam pengendalian AMR di fasilitas pelayanan kefarmasian.
Pihaknya mengundang apoteker penanggung jawab sarana pelayanan kefarmasian dari seluruh Tanah Rencong dalam rangka kampanye AMR Awareness Week (WAAW) 2024.
WAAW merupakan kampanye global yang diselenggarakan setiap tahun untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya resistensi antimikroba yang berbahaya bagi kesehatan.
Webinar itu digelar BBPOM Aceh sebagai berkomitmen untuk mengedukasi dan mendukung peran apoteker dalam menjaga kesehatan masyarakat Aceh melalui pengelolaan obat yang bijak dan bertanggung jawab.
Baca juga: Kemenkes: Konsumsi antibiotik secara bijak guna cegah AMR
Baca juga: BPOM: 10 juta kematian bakal terjadi akibat resistensi antimikroba
Ia menjelaskan, saat ini kebutuhan masyarakat terkait antibiotik cukup tinggi, sehingga penggunaan antibiotik tanpa resep dokter di Aceh juga sangat tinggi. Banyak masyarakat berpikir bahwa tidak akan sembuh sakit apabila tidak mengonsumsi antibiotik.
Oleh sebab itu, lanjut Yudi, apoteker bersama BBPOM dapat berkolaborasi untuk melakukan edukasi kepada masyarakat tentang penggunaan antibiotik secara bijak dan tepat sasaran sesuai kebutuhan.
“Artinya tidak semua keinginan masyarakat terkait antibiotik bisa dipenuhi. Kita lihat selama ini masyarakat seolah-olah kalau tidak minum antibiotik, tidak sembuh. Maka itulah peran dari apoteker untuk memberi penjelasan yang lebih kepada masyarakat,” ujarnya.
Selain itu, BBPOM juga berharap peran apoteker untuk memberi pembinaan secara internal kepada pemilik sekaligus karyawan apotek agar tidak menjual antibiotik kepada masyarakat secara bebas, tanpa ada resep dokter.
Fakta saat ini, kata Yudi, masih banyak ditemukan apotek di Aceh yang menjual antibiotik kepada masyarakat tanpa resep dokter, sehingga hal ini berpotensi meningkatkan resistensi antibiotik di tengah masyarakat.
“Secara ekstra kita melakukan edukasi kepada masyarakat, maka secara internal juga kia harus memastikan pengelolaan obat itu harus sesuai ketentuan, artinya penyerahan antibiotik kepada pasien harus ada resep dokter,” ujarnya.
Baca juga: Pakar kesehatan ingatkan pentingnya cegah resistensi antibiotik
Baca juga: BBPOM: NTB peringkat enam penyerahan antibiotik tanpa resep dokter
Pewarta: Khalis Surry
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024