China yang selama ini melambat kemungkinan juga akan lebih lambat
Jakarta (ANTARA) - Bank Indonesia (BI) memperkirakan ekonomi dunia tumbuh sebesar 3,1 persen dipengaruhi perkembangan politik dan ekonomi Amerika Serikat (AS), termasuk hasil Pemilihan Umum AS.
“Prediksi kami pertumbuhan ekonomi dunia yang mestinya tahun depan bisa naik dari 3,2 persen atau setidaknya sama dengan 3,2 persen, kemungkinan akan turun menjadi 3,1 persen,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Bulan November 2024 di Jakarta, Rabu.
Bank Indonesia terus memantau, mencermati, melakukan asesmen atas proses politik di Amerika Serikat dan terutama hasil pemilihan umum AS di mana Donald Trump terpilih kembali menjadi presiden AS.
Berdasarkan berbagai asesmen terhadap perkembangan politik dan ekonomi di Amerika Serikat, BI mencermati lima hal penting yang perlu diperhatikan, yakni kebijakan ekonomi dan politik Presiden AS terpilih Donald Trump akan lebih inward looking policy, fragmentasi perdagangan, penurunan inflasi di Amerika Serikat yang lebih lambat, defisit fiskal pemerintah Amerika yang akan melebar, serta berbaliknya preferensi investor global ke Amerika Serikat.
Inward looking policy merupakan strategi ekonomi berorientasi domestik di mana Amerika Serikat melakukan antara lain penerapan tarif perdagangan yang tinggi dan kebijakan imigrasi yang ketat.
“Inward looking policy itu artinya apa? Kepada negara-negara mitra itu, tentu saja akan menerapkan tarif perdagangan yang tinggi, terutama kepada negara-negara yang mengalami surplus besar terhadap Amerika. Itu ya tarifnya besar. Negara-negara mana itu adalah China, Uni Eropa, Meksiko, dan sejumlah negara yang lain termasuk yang kelima adalah Vietnam,” ujarnya.
Tarif perdagangan yang tinggi kemungkinan mulai akan diterapkan pada semester II-2025. Pengenaan tarif perdagangan tersebut dapat menyebabkan fragmentasi perdagangan. Fragmentasi perdagangan akan berdampak pada perlambatan ekonomi khususnya di negara-negara yang akan terkena tarif oleh Amerika Serikat termasuk China, Uni Eropa dan Inggris.
“China yang selama ini melambat kemungkinan juga akan lebih lambat. Uni Eropa yang sebetulnya sedang akan naik mungkin tidak jadi naik. Ini akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi dunia itu akan menurun,” katanya.
Lebih lanjut Perry menuturkan jika proses penurunan inflasi di Amerika Serikat berjalan lebih lambat, maka kemungkinan ruang penurunan Fed Fund Rate (FFR) akan lebih terbatas.
BI memperkirakan FFR masih akan turun 25 basis poin pada Desember 2024. Namun, BI menurunkan proyeksi pemangkasan FFR pada 2025, yang semula diperkirakan akan turun 75-100 basis poin, menjadi hanya 50 basis poin. Pemangkasan FFR diprediksi hanya dilakukan sebanyak dua kali saja pada tahun depan.
Selain itu, BI memproyeksikan defisit fiskal AS pada 2025 bisa membengkak ke 7,7 persen dari produk domestik bruto (PDB), lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya yang sebesar 6,5 persen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestiknya.
Defisit fiskal yang lebih tinggi dapat memicu penerbitan utang yang lebih banyak sehingga imbal hasil US Treasury kembali meningkat baik untuk yang jangka pendek maupun panjang.
Perry memprediksi imbal hasil (yield) US Treasury Note 2 tahun dapat naik menjadi 4,5 persen pada 2025, dari posisi saat ini sebesar 4,3 persen, sedangkan surat berharga Pemerintah AS dengan tenor 10 tahun kemungkinan meningkat ke 4,7 persen, yang mana saat ini sebesar 4,4 persen.
“Karena memang kebijakan fiskal yang ekspansif. Utangnya Pemerintah Amerika Serikat akan lebih banyak. Sehingga yield US Treasury itu akan kemudian sekarang sudah meningkat dan kemungkinan bergerak meningkat, dengan yang jangka panjang yang 10 tahun akan meningkat lebih tinggi,” tuturnya.
Dengan imbal hasil US Treasury yang semakin meningkat, maka preferensi investor global akan berbalik ke AS sehingga investasi portofolio akan semakin mengalir ke AS. Hal itu dapat membuat dolar AS menguat, dan berdampak kepada seluruh mata uang dunia termasuk negara-negara berkembang.
Baca juga: Wamenlu RI serukan dunia hentikan kegiatan ekonomi dengan Israel
Baca juga: Masa depan ekonomi Indonesia di era BRICS
Baca juga: Airlangga: RI harus perhatikan seluruh kekuatan ekonomi dunia
Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2024