Jakarta (ANTARA) - Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu sumber pendapatan utama negara. Sebagai pajak yang dikenakan pada setiap tahapan produksi dan distribusi barang atau jasa, PPN berfungsi meningkatkan pendapatan negara guna membiayai berbagai program pembangunan.

Pada tahun 2022, Indonesia mengumumkan kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen dan berencana untuk meningkatkan lagi menjadi 12 persen pada 2025. Kebijakan ini menimbulkan perdebatan mengenai dampaknya terhadap perekonomian, khususnya dalam konteks pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Pertumbuhan ekonomi inklusif diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi yang tidak hanya berfokus pada angka produk domestik bruto (PDB), tetapi juga memperhatikan distribusi kesejahteraan yang merata di seluruh lapisan masyarakat.

Oleh karena itu, penting untuk menganalisis pengaruh kenaikan PPN 12 persen terhadap inklusivitas pertumbuhan ekonomi, terutama terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang lebih rentan.

Pajak, sebagai instrumen fiskal yang penting dalam pembangunan ekonomi, digunakan oleh Pemerintah untuk mengatur permintaan agregat dalam perekonomian. Dalam jangka pendek, kenaikan PPN bisa menyebabkan penurunan konsumsi masyarakat karena harga barang dan jasa menjadi lebih tinggi, yang pada gilirannya dapat menurunkan daya beli.

Namun, dalam jangka panjang, jika pendapatan negara meningkat, Pemerintah dapat mengalokasikan dana untuk program-program sosial yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Dalam teori Pertumbuhan Ekonomi Endogen yang dikemukakan oleh Romer (1990), pajak dan pengeluaran Pemerintah yang efisien dapat merangsang investasi di sektor-sektor yang meningkatkan produktivitas dan menciptakan lapangan kerja. Sebagai contoh, pendapatan yang diperoleh dari PPN dapat digunakan untuk membiayai infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas.


Dampak terhadap konsumsi dan produksi

Salah satu dampak langsung dari kenaikan PPN adalah peningkatan harga barang dan jasa. Peningkatan harga ini cenderung mengurangi konsumsi, terutama bagi rumah tangga dengan pendapatan rendah.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zodrow dan Mieszkowski (2001), pajak konsumsi seperti PPN sering kali lebih membebani rumah tangga dengan pendapatan rendah karena proporsi pengeluaran mereka untuk konsumsi lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga berpendapatan tinggi. Hal ini berpotensi menyebabkan ketimpangan yang lebih besar, yang berlawanan dengan tujuan pertumbuhan ekonomi inklusif.

Namun, ada pula argumen yang mengatakan bahwa kenaikan PPN dapat meningkatkan daya saing sektor produksi dalam negeri. Hal ini disebabkan oleh penurunan tarif PPN pada barang ekspor dan insentif untuk mendorong industri dalam negeri. Jika Pemerintah menggunakan hasil dari PPN untuk membiayai kebijakan yang meningkatkan efisiensi produksi dan produktivitas, maka sektor-sektor tertentu, seperti manufaktur, bisa mendapatkan manfaat dari peningkatan kapasitas dan daya saing.

Peningkatan PPN 12 persen dapat memberikan dampak yang berbeda terhadap berbagai lapisan masyarakat. Kelompok rumah tangga dengan pendapatan rendah memang lebih sensitif terhadap kenaikan harga barang dan jasa karena sebagian besar pendapatan mereka digunakan untuk konsumsi barang-barang kebutuhan dasar.

Sebagai contoh, rumah tangga dengan pengeluaran untuk pangan, transportasi, dan energi yang tinggi akan merasakan dampak yang lebih besar dari kenaikan PPN ini. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019, konsumsi rumah tangga miskin lebih banyak diperuntukkan bagi barang dan jasa yang dikenakan PPN, seperti makanan, energi, dan transportasi, yang berpotensi memperburuk ketimpangan sosial.


Akan tetapi, jika Pemerintah dapat mengimbangi dampak ini dengan kebijakan sosial yang tepat, seperti bantuan langsung tunai atau subsidi, dampak negatif dari kenaikan PPN bisa diminimalkan. Misalnya, negara bisa mengalokasikan sebagian pendapatan dari PPN untuk mendanai program-program yang langsung menguntungkan kelompok masyarakat miskin, seperti pendidikan, kesehatan, dan pelatihan keterampilan.

Penelitian yang dilakukan oleh Suraya (2022) menunjukkan bahwa kenaikan PPN di Indonesia dapat menurunkan konsumsi domestik dalam jangka pendek. Namun, jika hasil dari pajak ini digunakan untuk pembiayaan sektor infrastruktur dan pendidikan, maka dalam jangka panjang, kebijakan ini dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Hal ini karena investasi di sektor-sektor produktif dapat menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan produktivitas, yang pada gilirannya memperbaiki kesejahteraan masyarakat secara merata.

Selain itu, studi oleh Widodo (2020) menyimpulkan bahwa meskipun ada risiko penurunan daya beli masyarakat miskin akibat kenaikan PPN, kebijakan perpajakan yang pro-poor, seperti pemberian subsidi atau penghapusan PPN untuk barang-barang kebutuhan pokok, dapat mengurangi dampak negatif tersebut. Dengan demikian, pengelolaan hasil pajak yang baik dapat memastikan bahwa kebijakan pajak tidak hanya mendukung pertumbuhan ekonomi tetapi juga menciptakan distribusi kesejahteraan yang lebih adil.


Mendukung pertumbuhan ekonomi inklusif

Untuk memastikan bahwa kenaikan PPN 12 persen dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif, beberapa kebijakan pendukung perlu diterapkan, antara lain, melalui penggunaan hasil PPN untuk program sosial, yaitu dalam hal ini pendapatan yang diperoleh dari kenaikan PPN dapat dialokasikan untuk program-program yang mendukung masyarakat miskin, seperti subsidi pangan, pendidikan, dan layanan kesehatan. Hal ini akan membantu kelompok masyarakat yang rentan agar tidak terkena dampak negatif dari kenaikan harga.

Selanjutnya, peningkatan infrastruktur dan kesejahteraan sosial juga menjadi bagian fokus pembiayaan dari implikasi kenaikan PPN ini. Kebijakan ini dapat dilaksanakan, antara lain, melalui peningkatan investasi dalam infrastruktur, terutama di daerah-daerah yang kurang berkembang sehingga membuka peluang kerja bagi masyarakat dan meningkatkan akses mereka terhadap layanan publik.

Kebijakan berikutnya yang dapat diambil untuk mengimbangi dampak negatif dari kenaikan PPN melalui pengenaan pajak progresif. Dalam hal ini Pemerintah dapat menerapkan pajak progresif yang lebih tinggi untuk kelompok berpendapatan tinggi. Dengan demikian, beban pajak lebih banyak ditanggung oleh mereka yang mampu, sementara rumah tangga miskin tetap mendapat perlindungan.

Terakhir, kebijakan untuk mendukung manfaat kenaikan PPN adalah peningkatan efisiensi Pemerintah dalam pengelolaan anggaran. Dalam hal ini, Pemerintah perlu memastikan bahwa dana yang diperoleh dari PPN digunakan secara efisien dan tidak ada kebocoran anggaran yang dapat merugikan masyarakat.

Kenaikan PPN 12 persen dapat memiliki dampak yang kompleks terhadap pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Pada satu sisi, kenaikan PPN dapat menekan daya beli masyarakat, terutama kelompok rumah tangga miskin, yang berisiko memperburuk ketimpangan sosial.

Namun, jika hasil dari PPN digunakan dengan bijak untuk membiayai program-program sosial dan infrastruktur, maka kebijakan ini dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Oleh karena itu, penting bagi Pemerintah untuk melakukan pendekatan komprehensif dan memastikan bahwa kebijakan perpajakan dilaksanakan secara adil dan efisien.


*) Dr. M. Lucky Akbar, S.Sos, M.Si adalah Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi

Copyright © ANTARA 2024