Jakarta (ANTARA) - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) berharap Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset segera disahkan lantaran memiliki banyak dampak negatif apabila tidak segera disahkan.

Kepala Pusat Pemberdayaan Kemitraan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APUPPT) PPATK Supriadi mengatakan apabila RUU Perampasan Aset tidak segera disahkan, koruptor semakin punya kesempatan menyembunyikan kekayaan mereka, kerugian negara akibat korupsi akan terus berlanjut, kepercayaan publik terhadap penegakan hukum menurun, hingga hak masyarakat tercederai lantaran praktik korupsi tumbuh subur.

"PPATK sadar betul dampak yang akan terjadi jika RUU Perampasan Aset ini tidak segera disahkan," ujar Supriadi dalam kelas literasi bertajuk RUU Perampasan Aset: Mengapa Harus Tetap Disahkan? yang digelar secara daring di Jakarta, Rabu.

Maka dari itu, dirinya berharap kelas literasi mengenai urgensi RUU Perampasan Aset yang digelar PPATK bisa mengetuk kesadaran seluruh pihak untuk mendorong RUU Perampasan Aset agar tetap disahkan.

Dia menuturkan PPATK telah menginisiasi dan menyusun RUU Perampasan Aset sejak tahun 2008. Namun setelah 16 tahun berlalu, hingga kini RUU tersebut belum juga disahkan.

Padahal, kata dia, berbagai kasus tindak pidana, khususnya tindak pidana pencucian uang (TPPU), saat ini kian berkembang semakin kompleks karena beragam modusnya bertransformasi seiring perkembangan teknologi menjadi canggih dan rumit.

Alhasil, Supriadi menilai penanganan dan pemberantasan TPPU menjadi semakin rumit dan sulit, ditambah sistem dan mekanisme perampasan aset tindak pidana di Indonesia yang ada belum mampu memperkuat penegakan hukum.

"Pada akhirnya hal ini berdampak terhadap pengembalian kerugian negara yang menjadi kurang optimal," tuturnya.

Dengan demikian, ia mengharapkan agar RUU Perampasan Aset segera disahkan, terutama mengingat berbagai kasus TPPU tidak hanya menimbulkan potensi kerugian secara pribadi, tetapi berdampak langsung pada ranah publik yang bersifat materiel maupun imateriel.

Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan memastikan akan serius membahas RUU Perampasan Aset, walaupun RUU tersebut tidak masuk ke dalam RUU Prioritas untuk dibahas pada 2025.

Dia mengatakan bahwa RUU Perampasan Aset masuk ke dalam RUU Jangka Menengah untuk dibahas pada 2025-2029, karena berdasarkan nilai urgensinya. Selain itu, menurut dia, pemerintah pun mempertimbangkan untuk mengkaji lebih dalam draf muatan materi dalam RUU Perampasan Aset.

"Karena perampasan aset itu bukan an sich di bidang korupsi, bukan. Itu pidana, pidana yang dicampur sama perdata," kata Bob usai Rapat Paripurna dengan agenda penetapan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (19/11).

Untuk itu, Bob menuturkan muatan materi RUU Perampasan Aset akan disesuaikan terlebih dahulu dengan harapan masyarakat dan harapan penegakan hukum demi memaksimalkan pencegahan dan penindakan terhadap tindak pidana korupsi.
Baca juga: Baleg DPR bakal serius bahas RUU Perampasan Aset walau tak prioritas
Baca juga: Pemerintah kembali ajukan RUU Perampasan Aset dalam prolegnas
Baca juga: Tak masuk prolegnas, Pengamat: Pemberantasan korupsi tidak maksimal

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024