Jadi dari 100 orang itu hanya 44 membaca label. Artinya 56 orang tidak membaca dong. Nah kalau tidak membaca label, kemudian kita pengennya konsumsi pangan yang aman, bagaimana ceritanya?
Jakarta (ANTARA) - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengatakan Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan (KLBKP) akibat latiao menunjukkan bahwa peningkatan kesadaran tentang pangan aman perlu dibarengi dengan perubahan perilaku, sehingga pihaknya berupaya untuk mengedukasi publik melalui webinar.
Direktur Pemberdayaan Masyarakat dan Pelaku Usaha Pangan Olahan BPOM Ema Setyawati menyebutkan dalam survei indeks kesadaran masyarakat pada 2024 oleh Pusat Analisis dan Kajian Obat dan Makanan (Pusakom), indeks kesadaran masyarakat meningkat dari tahun ke tahun, namun tidak dibarengi dengan perubahan perilaku.
"Jadi dari 100 orang itu hanya 44 membaca label. Artinya 56 orang tidak membaca dong. Nah kalau tidak membaca label, kemudian kita pengennya konsumsi pangan yang aman, bagaimana ceritanya?" katanya dalam "Lesson Learned Kasus KLB Latiao: Perkuat Literasi Keamanan Pangan untuk Jadi Konsumen Cerdas" yang disiarkan di Jakarta, Selasa.
Dia menjelaskan KLBKP meningkat paling banyak pada 2023, yang disebabkan oleh mikroorganisme.
Baca juga: BPOM: KLBKP latiao bukti kurangnya kesadaran tentang keamanan pangan
Menurut data Pusakom tentang Kasus Keracunan Obat dan Makanan 2023, sebanyak 1.722 data kasus keracunan yang disebabkan oleh antara lain obat, suplemen kesehatan, kosmetik, pangan dan campuran telah dianalisis. Berdasarkan sebaran kasus per komoditi, diketahui bahwa mayoritas kasus yakni 1.110 kasus (64,46 persen) keracunan yang terjadi diakibatkan oleh makanan dan minuman.
Adapun tempat terbanyak terjadinya keracunan adalah rumah tangga, kata dia, diikuti oleh pangan jasa boga seperti katering, kemudian pangan yang ada izin edarnya ada namun sudah kedaluwarsa, karena ada yang merasa tidak penting melihat tanggal kedaluwarsa atau keutuhan kemasan.
Pada rumah tangga, katanya, faktor-faktor risiko penyebab keracunan tersebut contohnya kebersihan dapur, air sumur untuk memasak dekat dengan septik tank, menggunakan bahan seperti nasi basi untuk dimasak kembali menjadi nasi goreng, serta memanaskan makanan tetapi kurang panas sehingga muncul mikroorganisme.
Menurutnya, KLBKP seperti fenomena gunung es karena masyarakat sangat permisif dan tidak melaporkan, misalnya ada dua orang yang diare akibat makanan namun tidak dilaporkan karena hal itu dianggap biasa.
Baca juga: BPOM amankan 76.420 latiao asal China dari 33 toko, cegah keracunan
Pada kasus KLBKP latiao, kata dia, menjadi heboh karena dampaknya luar biasa. Dia mengingatkan pada kasus ini, selain karena makanan ringan khas China tersebut mengandung bakteri akibat pengolahan yang tidak benar, latiao juga mengandung capsaicin yang dapat membuat orang-orang tertentu, seperti anak-anak, iritasi.
Oleh karena itu,Ema menyebutkan pentingnya peran dari tiga pilar yakni pemerintah, pelaku usaha, serta publik, dalam mencegah kejadian-kejadian serupa. Terkhusus publik, kata dia, perlu melakukan Cek KLIK (cek Kemasan, Label, Izin edar, Kedaluwarsa), serta memperhatikan peringatan-peringatan peringatan-peringatan pada label terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui, lanjut usia.
"Disarankan untuk menghindari mengkonsumsi pangan olahan dengan rasa pedas yang menyengat. Anak-anak kita sendiri ketika ada rasa pedas itu saling mencari siapa juaranya untuk yang paling tahan pedas," katanya.
Dia juga mengingatkan untuk menyimpan makanan sesuai anjuran serta hanya mengkonsumsi pangan yang bermutu dan bergizi saja. Ema pun mendorong agar segera mencari penanganan medis jika terjadi keracunan.
Baca juga: BPOM setop sementara produk latiao asal China, respon kasus keracunan
Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024