Jakarta (ANTARA News) - Kebanyakan orang bermimpi menikmati masa tua dengan kasih sayang berlimpah; hidup tenang dikelilingi anak-anak yang berbakti dan cucu-cucu yang mengasihi.
Namun mimpi itu tak mungkin diraih Raini (83), penghuni Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia IV, Jakarta Selatan. Ia tak pernah membayangkan akan menghabiskan masa tua di sebuah panti jompo.
Perempuan asal Purworejo, Jawa Tengah, itu memutuskan merantau ke Jakarta dengan harapan dapat memperbaiki nasib, namun ia terjebak dalam kerasnya kehidupan Ibu Kota.
"Awalnya mau ke rumah saudara untuk minta dicarikan pekerjaan, jadi saya berangkat ke sini, tapi tidak bertemu," katanya mengisahkan awal perjalanannya ke Jakarta puluhan tahun silam.
Tanpa rumah untuk berteduh, perempuan yang tidak memiliki anak itu akhirnya terdampar di panti sosial milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kini, hari-hari Raini lebih banyak dihabiskan untuk ibadah. Usia lanjut membuatnya tidak mungkin lagi melakukan pekerjaan berat.
Perempuan yang semasa muda bekerja sebagai pelayan rumah makan itu juga tak lagi bisa berharap pada sanaknya
"Saya punya keponakan di Purworejo, sudah disurati panti untuk menjemput, tapi sampai hari ini tidak ada balasan," ujarnya.
Lain lagi kisah Murnah (57), perempuan asal Pandeglang, Banten, yang pernah bekerja di salah satu pabrik konveksi di Kota Tangerang. Kecelakaan kerja, yang menyebabkan satu jarinya putus, membuat perempuan itu kehilangan pekerjaan.
"Tangan saya nyangkut di mesin sampai luka parah, lalu dipecat," katanya sambil menunjukkan ibu jari yang putus dengan mata berkaca-kaca.
Kehilangan pekerjaan sempat membuat perempuan yang dipanggil Mak Murnah itu putus asa, apalagi pemilik pabrik yang sudah dia anggap saudara kemudian menitipkannya di panti jompo.
Awalnya perempuan yang tidak dikaruniai anak itu sulit menerima perlakuan mantan bosnya dan berusaha kabur dari panti.
"Mak takut dan tidak betah, tapi sekarang sudah dua kali Lebaran di sini, sudah banyak teman," kata Murnah, yang sehari-hari masih mampu membantu mencuci piring serta membersihkan kantor dan ruangan panti.
Seperti Raini dan Murnah, Kaino (83) mendatangi Jakarta untuk mengubah nasib. Dia meninggalkan Solo karena tergiur tawaran temannya untuk berdagang di kawasan wisata Ibu Kota.
Dengan modal Rp15 juta, Kaino membeli sebuah lapak lengkap dengan gerobak di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, empat tahun silam. Tapi sebelum bisa mengembalikan modal usaha, apalagi menikmati hasilnya, Kaino terjaring razia pedagang kaki lima.
"Enggak ada ganti rugi karena tempat itu tidak bisa untuk berdagang, saya tidak tahu saat membeli lapak dan gerobak," kata Kaino, yang hidup sendiri setelah istrinya meninggal dunia.
Dia kemudian membeli sepeda dan berjualan kopi keliling di kawasan wisata Monumen Nasional (Monas) dan lagi-lagi terjaring petugas. Usia Kaino sudah senja dan anak dia tidak punya, sehingga petugas kemudian menempatkannya di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia IV.
Kaino mengaku sudah pasrah dan ikhlas hidup di panti karena tidak ada keluarga dekat yang dapat merawatnya. Sebenarnya masih ada keponakan yang hidup di Solo, tapi di masa tua ia tidak ingin menjadi beban keluarga.
"Saya akan bertahan di sini karena tidak ingin membebani keluarga, apalagi kalau saya sakit tidak ada yang urus," kata Kaino.
Sampai Akhir Hayat
Bersama Raini, Murnah dan Kaino, ada 208 orang yang menjadi warga binaan di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia IV di Jalan Margaguna, Kelurahan Gandaria Selatan, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan.
Staf Perawatan Panti Tresna Werdha Budi Mulia IV, Winarni, mengatakan 90 persen penghuni panti itu terjaring saat operasi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Dinas Sosial DKI Jakarta.
"Sebagian besar pendatang asal luar kota dan 90 persen terjaring razia PMKS," kata Winarni.
Ia mengatakan, para jompo yang dikirim ke panti dapat dipastikan tidak memiliki keluarga yang dapat menjadi tumpuan untuk menghabiskan masa tua mereka. Begitu juga dengan 11 penghuni baru yang dibawa petugas saat razia awal Ramadhan, Juli 2014.
Sebelum berinteraksi dengan penghuni panti lain, mereka menjalani masa observasi di ruang terpisah. "Di ruang observasi mereka dibersihkan dan diobati bila ada luka, biasanya selama tiga sampai sepekan," katanya.
Pada masa observasi, petugas panti juga berusaha mencari dan menghubungi keluarga mereka. Bila upaya itu tak berhasil, maka para jompo itu akan dirawat di panti.
Winarni juga mengatakan pertambahan penghuni panti saat Ramadhan atau usai Lebaran sudah menjadi hal lumrah. Namun tahun ini jumlah penghuni baru menurun dibanding tahun 2013.
"Tahun ini bertambah 11 orang, sudah berkurang dibanding pertambahan penghuni baru tahun lalu yang lebih dari 25 orang," katanya.
Saat Ramadhan, ia melanjutkan, jumlah penghuni panti baru selama Ramadhan biasanya lebih banyak dibanding usai Lebaran, sebab sebagian lansia yang terjaring petugas saat mengemis di dalam kota itu sudah dijemput oleh keluarganya.
"Biasanya sepekan setelah di panti jompo ada keluarga yang menjemput, alasannya orang tua mereka pergi dari rumah," tambahnya.
Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta Masrokhan mengatakan setelah Lebaran 2014 petugas menjaring 902 penyandang masalah sosial di lima kota di wilayah Jakarta. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan dengan jumlah penyandang masalah sosial yang terjaring dalam razia pada kurun yang sama tahun 2013 yang sebanyak 787 orang.
"Sebelumnya kami prediksi meningkat 25 persen dari jumlah yang terjaring razia pada 2013, ternyata hanya meningkat 15 persen," katanya.
Pemerintah DKI Jakarta, ia menjelaskan, berusaha menekan jumlah penyandang masalah sosial yang masuk ke kota dengan berbagai upaya, mulai dari penghalauan di titik rawan hingga operasi simpatik.
Selain itu, ia menambahkan, Gubernur DKI Jakarta juga telah menerbitkan sejumlah instruksi tentang pencegahan, pengendalian, dan pembinaan terhadap penyandang masalah sosial.
"Mereka yang terkena operasi simpatik akan diidentifikasi dan bagi yang bersedia akan direhabilitasi secara sosial, seperti memberikan pelatihan sehingga mereka punya keterampilan," katanya.
Sementara para lansia penyandang masalah sosial yang tidak memiliki sanak akan dirawat di panti hingga akhir hayat mereka.
Oleh Helti Marini Sipayung
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014