Dengan mengunjungi AS segera setelah China, Indonesia telah memperjelas posisinya terhadap kedua negara tersebut, meskipun persaingan AS-China semakin ketat, Indonesia tidak memihak salah satu pihak. Namun tetap mempertahankan kepentingan nasional dan prinsip non-partisan.

Pokok yang menjadi persaingan antara China dan AS terkait dengan kawasan Asia Pasifik. Klaim China terhadap nine-dash line yang mencakup hampir sebagian besar wilayah Laut China Selatan (LCS) telah memberikan ruang perseteruan antara berbagai negara yang sebagian wilayahnya beririsan dengan klaim China tersebut, terutama negara anggota ASEAN.

Hukum UNCLOS 1982 yang diratifikasi Indonesia pada 1985 mengatur bahwa batas-batas wilayah laut dan ZEE sejauh 200 mil ditarik dari garis pangkal wilayah pesisirnya.

Berdasarkan UNCLOS, Nine-Dash Line yang diklaim oleh China tidak memiliki dasar hukum yang sah. Hukum UNCLOS ini yang juga menjadi pegangan negara anggota ASEAN lainnya: Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Brunei Darussalam. Namun China tetap mempertahankannya atas dasar sejarah dan pengaruh budaya.

Indonesia menetapkan bahwa ZEE di sekitar Natuna adalah sah milik NKRI sesuai ketentuan UNCLOS. Dalam konteks ini, pernyataan bersama yang dikeluarkan Indonesia dan China tidak diartikan sebagai pengakuan terhadap Nine-Dash Line, tetapi sebatas upaya diplomasi dalam menjaga stabilitas kawasan.

Penandatanganan pernyataan bersama dengan China ini mengandung pilihan bagi Indonesia untuk lebih mengutamakan stabilitas di kawasan dan kepentingan nasional. Nine-Dash Line yang selama ini dinilai sebagai ancaman oleh negara anggota ASEAN lainnya, Indonesia memilih pendekatan diplomasi de facto: menjaga hubungan baik dengan China.

Indonesia mencoba membangun keseimbangan antara mempertahankan posisi hukum (de jure) di bawah UNCLOS, dengan pengakuan terhadap realitas pengaruh China yang semakin besar di kawasan (de facto).

Keputusan ini memiliki keuntungan dalam menjaga stabilitas kawasan dan memperkuat hubungan lima pilar dengan China, tetapi juga menimbulkan risiko kehilangan dukungan ASEAN dalam menghadapi klaim China. Dengan mengambil langkah diplomatik yang hati-hati dan tetap memantau aktivitas China di kawasan tersebut, Indonesia dapat mempertahankan kedaulatannya tanpa mengorbankan stabilitas regional.

Dalam kaitan klaim China di kawasan LCS, Indonesia melihat Amerika Serikat memposisikan NKRI, dan negara anggota ASEAN lainnya seolah sebagai benteng regional melawan China. Situasi ini yang membuat Indonesia dan ASEAN dalam posisi sebagai negara proksi di tengah ketegangan kedua negara China dan AS.

Pemerintahan Presiden Prabowo menempuh pendekatan pragmatis dengan memanfaatkan hubungan dengan China dan AS untuk memajukan kepentingan nasional sebagai bentuk membangun keseimbangan baru di kawasan.

Diplomasi Presiden Prabowo dan meningkatnya kepentingan ekonomi Indonesia dapat memberikan peluang untuk memainkan peran yang lebih signifikan dalam urusan regional dan global, tetapi ini memerlukan keseimbangan sehingga diplomasi yang tidak memihak menjadi prinsip penting. Tentu dengan mempertimbangkan berbagai aspek lain agar tidak dimanfaatkan sebagai negara proksi.

Pada akhirnya, dengan menyatukan kekuatan dari berbagai sisi, membangun sinergi dengan seluruh elemen bangsa, diharapkan mampu menghantarkan bangsa Indonesia untuk mengolah potensi unggulan nasional guna membangun kekuatan nasional yang kuat dan tangguh demi mewujudkan Indonesia Emas 2045.

*) Ngasiman Djoyonegoro, Analis Intelijen, Pertahanan dan Keamanan

Copyright © ANTARA 2024