"Berdasarkan MoU Helsinki, ketentuan turunan UU PA harus diselesaikan dua tahun sejak UU PA disahkan tahun 2006, tetapi hingga saat ini belum sepenuhnya terpenuhi," kata Asisten I Pemerintah Aceh Iskandar A. Gani dalam diskusi bertajuk "Sosialisasi MoU Helsinki dan UU RI Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh untuk Kepemimpinan Nasional Yang Baru" di Jakarta, Jumat petang.
Dia mengatakan dengan tidak lahirnya beberapa ketentuan itu, pemerintah Aceh menjadi kesulitan menetapkan kebijakan-kebijakan pemerintaha, karena selalu tumpang tindih dengan kebijakan pemerintah pusat.
"Regulasi yang dikeluarkan menjadi tumpang tindih, kami mengharapkan Presiden SBY menyelesaikan dan menandatangani Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) yang menjadi turunan UU PA sesegera mungkin," kata dia.
Iskandar tidak menjabarkan apa saja RPP dan Rancangan Perpres yang belum berhasil mencapai titik temu antara pemerintah Aceh dan pemerintah pusat, namun menurut informasi Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Johan ada delapan RPP dan tiga perpres yang menjadi turunan UU PA.
Berdasarkan total tersebut, tersisa empat RPP dan satu Perpres lagi yang belum ditetapkan.
"Dua RPP diantaranya memang belum dibahas dan membutuhkan peran pemerintah Aceh, sedangkan dua RPP dan satu Perpres sedang dalam proses pembahasan," kata Djohermansyah dalam acara yang sama.
Djohermansyah mengatakan dua RPP dan satu perpres yang sedang dalam proses pembahasan itu antara lain terdiri dari RPP tentang Kewenangan Pemerintah Aceh yang bersifat nasional di bidang Pertanahan, RPP Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Gas Bumi, serta Perpres tentang Pengalihan Badan Pertanahan.
Djohermansyah menjabarkan, terkait RPP tentang Kewenangan Pemerintah Aceh yang Bersifat Nasional di Bidang Pertanahan, pemerintah pusat mengusulkan bahwa 11 kewenangan pertanahan di Aceh menjadi kewenangan pemerintah Aceh, sedangkan 10 kewenangan pertanahan menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Namun pemerintah Aceh menginginkan 21 kewenangan pertanahan menjadi kewenangan pemerintah Aceh.
Sedangkan terkait RPP Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Gas Bumi, pemerintah pusat mengusulkan pengelolaan teritorial laut di Aceh dari jarak 0-12 mil berada dibawah kewenangan pemerintah Aceh, dan teritorial laut dari 12-200 mil dikelola bersama antara pemerintah Aceh dengan pemerintah pusat.
Namun, pemerintah Aceh menginginkan seluruh teritorial laut Aceh berjarak 0-200 mil dikelola sendiri oleh pemerintah Aceh.
Sementara itu satu perpres yang belum disepakati yakni terkait pengalihan badan pertanahan ke Aceh, yang menurut Djohermansyah bergantung pada kesepakatan RPP Bidang Pertanahan.
Gubernur Aceh Zaini Abdullah meyakini Presiden Yudhoyono akan menuntaskan segala kesepakatan itu di sisa masa kerja Kabinet Indonesia Bersatu II. Dia juga mengharapkan pemerintahan baru memberikan prioritas bagi pembangunan di Aceh, demi menjaga penguatan perdamaian di Aceh pascaperjanjian Helsinki.
MoU Helsinki dan UU PA merupakan landasan pembangunan Aceh baru sejak disepakatinya perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia 15 Agustus 2005 silam, guna mencapai masyarakat Aceh yang damai, mandiri dan makmur, dan sejahtera dalam bingkai NKRI.
Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2014