Sudah saatnya dikaji kembali apakah sistem demokrasi langsung yang kita anut lebih banyak manfaatnya atau mudaratnya.
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo menyoroti soal politik berbiaya tinggi di Indonesia yang rentan memicu korupsi dalam kaitannya dengan pemilihan langsung di Tanah Air saat uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon pimpinan (capim) KPK yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin.
"Sistem demokrasi pemilihan langsung dalam pemilihan pimpinan daerah, pusat ataupun legislatif sangat rentan dengan money politic dan biaya tinggi sehingga sangat berpotensi menggiring orang untuk terjerat dalam tindak korupsi," kata Bamsoet, sapaan karibnya, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.
Sebab, kata dia, peserta pemilu membutuhkan biaya yang tinggi untuk dapat ikut berkontestasi. Maka, ketika terpilih, terkadang menghalalkan segala cara untuk mengembalikan kembali biaya yang telah mereka keluarkan.
Berdasarkan data KPK pada tahun 2004 hingga 2023, sebanyak 161 bupati/wali kota, 24 gubernur, serta 344 anggota DPR/DPRD terjerat kasus korupsi.
Selain itu, hasil kajian KPK menyebutkan untuk menjadi bupati atau wali kota dibutuhkan biaya setidak-tidaknya Rp50 miliar sampai dengan Rp100 miliar. Biaya politik tinggi juga dikeluarkan para calon anggota legislatif untuk ikut pemilu.
"Artinya apa? Di satu sisi, sistem demokrasi makin lama makin lari dari substansinya. Demokrasi kita lebih menjurus kepada 'NPWP', nomor piro-wani piro. Hal ini mendorong meningkatkan tindak pidana korupsi," ujarnya.
Baca juga: Mengakhiri tahun politik, tetap mewaspadai politik uang dan netralitas
Baca juga: Berkolaborasi wujudkan pilkada aman dan jurdil
Untuk itu, dia meminta kepada capim KPK untuk mengkaji kembali apakah sistem demokrasi langsung yang dianut saat ini memicu kasus korupsi menjadi sulit diberantas.
Bamsoet menyoroti pula soal fenomena anggota dewan atau kepala daerah yang kerap terkena operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK.
"Apa sebenarnya yang mendorong korupsi ini sulit diberantas baik oleh KPK, kejaksaan, maupun kepolisian? Apakah pilihan sistem demokrasi yang kita anut hari ini yang memaksa, mendorong orang-orang yang memiliki jabatan publik itu melakukan tindak pidana korupsi?" tuturnya.
Dia lantas berkata, "Sudah saatnya dikaji kembali apakah sistem demokrasi langsung yang kita anut lebih banyak manfaatnya atau mudaratnya."
Pada hari Senin (18/11) ada empat calon pimpinan KPK yang akan mengikuti ujian tersebut, yaitu Setyo Budianto (perwira tinggi Polri), Poengky Indarti (mantan Komisioner Kompolnas), Fitroh Rohcahyanto (mantan Direktur KPK), hingga Michael Rolandi Cesnanta (eks pejabat BPKP).
Rencananya uji kelayakan dan kepatutan itu akan dibagi dua tahap, yakni 10 peserta pertama dari capim KPK dan 10 peserta selanjutnya dari calon Dewas KPK. Uji kelayakan dan kepatutan itu pun berlangsung pada tanggal 18—21 November 2024.
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024