Jakarta (ANTARA) - PLN UIP Nusra berkomitmen menjaga kearifan lokal di wilayah operasionalnya melalui pendekatan berbasis budaya, keterlibatan masyarakat, dan upaya melestarikan tradisi setempat dalam setiap pelaksanaan proyeknya.
General Manager (GM) PLN UIP Nusra, Abdul Nahwan dalam keterangan di Jakarta, Senin mengatakan bahwa pihaknya memastikan seluruh proses pembangunan, salah satunya Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu Unit 5-6 di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), tetap menghormati adat istiadat masyarakat setempat.
“Selama ini, kami selalu melaksanakan proyek berdampingan dengan masyarakat adat dan istiadat. Seluruh tahapan pengadaan tanah juga melibatkan tua golo, tua adat, dan perangkat desa,” kata Nahwan.
Dia menyampaikan bahwa dukungan dari masyarakat adat, data transparan pendekatan sosial, dan komitmen pemerintah daerah menjadi landasan kuat, bahwa proyek PLTP Ulumbu Unit 5-6 dapat berjalan demi mencapai keseimbangan antara keberlanjutan energi dan kesejahteraan masyarakat Poco Leok.
Di sisi lain, dukungan mayoritas masyarakat adat Poco Leok, Manggarai, terhadap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu Unit 5-6 semakin menguat.
Di tengah polemik antara pihak pro dan kontra, tokoh adat, pemerintah daerah, serta konsultan sosial proyek ini menegaskan pentingnya keberlanjutan proyek sebagai upaya mendorong transisi energi nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Taddeus Dappang, salah satu tokoh masyarakat Poco Leok, menyatakan bahwa penolakan terhadap proyek ini didorong oleh provokasi pihak tertentu.
“Kelompok pro dan kontra ini dimunculkan karena ada segelintir orang yang mempengaruhi mereka. Pemerintah dan teman-teman dari geothermal sudah melakukan pendekatan yang persuasif, tapi kelompok kontra ini tidak mau mendengar,” jelasnya.
Menurut Taddeus, musyawarah adat telah menjadi langkah penting dalam membangun kesepakatan terkait PLTP.
"Kami pernah diundang di gendang Mesir. Ada sekitar 10 gendang hadir dan kami bersepakat di depan tim independen dari KfW (MFC) agar pembangunan geothermal di Poco Leok ini berjalan. Dengan adanya proyek ini, saya yakin masyarakat Poco Leok akan lebih baik," kata Taddeus.
Senada dengan itu, Alfons Syukur, Tua Gendang Tere, menegaskan bahwa narasi penolakan tidak mencerminkan keseluruhan masyarakat adat.
“Penolak itu identik dengan masyarakat adat, padahal yang sebenarnya terjadi di Poco Leok, sebagian masyarakat adat mendukung geothermal. Apa buktinya? Mereka menyerahkan tanah milik mereka untuk geothermal,” kata Alfons.
Sementara itu, Romanus Inta, Tua Gendang Lungar, bahkan mempertanyakan motif di balik penolakan.
“Tidak jelas alasan mereka. Sampai saat ini tidak jelas. Mereka anti dengan pemerintah, apa tujuannya? Dengan kami, pemilik tanah, apa tujuannya? Tidak ada tujuan, hanya mereka pergi demo terus,” ujarnya.
Romanus juga menyoroti keterlibatan beberapa pihak luar yang dinilai mempengaruhi opini masyarakat melalui pendekatan emosional.
Dia menduga ada pihak-pihak membangun narasi yang tidak berimbang sehingga memicu emosi masyarakat. Apalagi menurutnya, hal itu tidak menawarkan solusi.
"Padahal, kami di sini sebagai masyarakat adat yang mendukung, punya alasan dan dasar yang kuat untuk melanjutkan proyek ini,” tambah Romanus.
Vincent Godat, Tokoh Masyarakat Gendang Mesir, turut menegaskan pentingnya kesepakatan untuk proyek itu apalagi adanya pro dan kontra.
Ia mengakui bahwa meskipun ada masyarakat yang mendukung proyek tersebut, namun sebagian besar menolak, mulai dari isu kecil hingga besar. Bahkan, penolakan ini telah sampai ke perhatian Bank KfW. Namun, kini pihaknya mendukung terhadap proyek tersebut.
“Jadi mulai hari ini, kami setuju, kami di Poco Leok tidak ada yang tidak. Jadi mereka yang selama ini cerita keluar, yang selama ini yang omong tidak, kami tidak tahu, karena kami tidak jalan sama," ucapnya.
Connusa sebagai konsultan sosial proyek itu mencatat bahwa pendekatan kepada masyarakat adat dilakukan secara intensif sejak Mei 2022 hingga November 2024.
Dalam periode tersebut, telah dilakukan 14 kali Tabe Gendang (dialog bersama masyarakat adat di rumah adat); 30 kali sosialisasi dan 12 kali Free, Prior, and Informed Consent (FPIC); serta 5 upacara Penti, yang melibatkan PLN sebagai tamu undangan/ase kae.
“Seluruh kegiatan Penti dan Tabe Gendang menunjukkan dukungan masyarakat yang sangat besar terhadap proyek ini, dengan sebanyak 86,5 persen menyatakan mendukung proyek,” kata Dennis Goonting perwakilan Connusa.
Sementara itu, Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekretaris Daerah Kabupaten Manggarai Yosef Djelamu menyampaikan bahwa pemerintah setempat mendukung untuk terus menjadi fasilitator dialog antara pihak-pihak yang terlibat.
Yosef menegaskan bahwa pentingnya proyek ini bagi masyarakat lokal. Proyek PLTP Ulumbu dinilai bukan hanya untuk mendukung target transisi energi nasional, tetapi juga menjadi peluang besar bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat sekitar.
"Pemda terus berupaya agar dialog antara semua pihak berjalan harmonis,” kata Yosef.
Baca juga: PLN UIP Nusra raih dua penghargaan platinum Nusantara CSR Awards 2024
Baca juga: PLN: Rasio elektrifikasi di NTT naik 34 persen di tujuh tahun terakhir
Baca juga: PLN mengaktifkan listrik 24 jam di daerah terisolir di NTT
Pewarta: Muhammad Harianto
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2024