China ini salah satu biggest energy consumer dan salah satu tujuan ekspor Indonesia dan tentunya ini akan berimbas langsung kepada kinerja ekspor Indonesia kalau ekonomi China mengalami perlambatan
Jakarta (ANTARA) - Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede memproyeksikan, tiga risiko utama yang akan memengaruhi perekonomian global pada tahun 2025, yakni perlambatan ekonomi China, dampak pemilu global, dan dinamika geopolitik internasional.
Pertama, adanya perlambatan ekonomi China. Sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia dan konsumen energi terbesar di dunia, China menunjukkan tren perlambatan ekonomi.
“China adalah mitra dagang utama Indonesia. Bukan hanya penting buat Asia tapi juga penting buat Indonesia. Pertumbuhan ekonomi China ini menunjukkan tren perlambatan dua tahun terakhir, tumbuh di bawah 5 persen,” jelas Josua dalam Permata Bank Wealth Wisdom 2024 di Jakarta, Senin.
Diketahui, ekonomi China tumbuh sebesar 4,6 persen secara tahunan (yoy) pada kuartal III 2024. Angka tersebut merupakan laju paling lambat sejak awal 2023. Pada tiga kuartal I tahun ini, ekonomi Negeri Tirai Bambu itu tumbuh sebesar 4,8 persen (yoy), sedikit lebih lambat dari laju 5 persen yang terlihat pada paruh pertama tahun ini.
“Seperti kita ketahui bahwa China ini salah satu biggest energy consumer dan salah satu tujuan ekspor Indonesia dan tentunya ini akan berimbas langsung kepada kinerja ekspor Indonesia kalau ekonomi China mengalami perlambatan,” ucapnya.
Penurunan permintaan dari China diperkirakan akan memengaruhi sektor ekspor komoditas energi dan bahan mentah Indonesia secara signifikan.
Risiko kedua, yakni adanya pemilihan umum (pemilu). Tahun ini, pemilu tidak hanya digelar serentak di Indonesia, melainkan juga di negara-negara lain termasuk AS. Pemilu di berbagai negara, termasuk Indonesia dan AS, akan menjadi penentu arah kebijakan global.
Josua menyoroti potensi kemenangan Donald Trump dalam pemilu AS yang dapat mengubah lanskap geopolitik dan ekonomi.
“Jika Trump kembali terpilih, ada kemungkinan kebijakan yang lebih inward-looking, seperti kenaikan tarif impor terhadap produk China,” kata Josua.
Kebijakan ini dapat memicu respons dari China, termasuk potensi devaluasi mata uang yuan. Devaluasi yuan berpotensi melemahkan nilai tukar rupiah dan mata uang Asia lainnya, sehingga menciptakan ketidakpastian di pasar global dalam jangka pendek.
Kemudian risiko ketiga, Josua menerangkan ketegangan geopolitik global, seperti konflik Rusia-Ukraina dan perang Israel-Palestina diperkirakan akan terus menjadi tantangan di tahun mendatang.
Faktor geopolitik ini sulit diprediksi kapan akan berakhir. Namun, Josua menilai jika Trump kembali menjabat, kemungkinan besar dirinya tidak akan terlalu fokus pada konflik Timur Tengah. Maka dari itu, ia berharap tensi geopolitik di kawasan ini tidak semakin memanas.
“Mengikuti geopolitik 2022, dari Rusia-Ukraina dan perang Israel-Palestina, faktor ini memang tidak ada yang bisa memprediksi kapan berakhirnya. Namun kalau kita melihat, Trump tidak terlalu peduli dengan konflik Timur Tengah,” jelasnya.
Adapun tahun 2025 akan menjadi periode yang penuh tantangan dengan kombinasi perlambatan ekonomi, ketidakpastian politik, dan dinamika geopolitik global. Indonesia perlu bersiap dengan kebijakan adaptif untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sosial di tengah perubahan ini.
Baca juga: Prabowo dukung sinergi ekonomi lewat "Indonesia-Brazil Business Forum"
Baca juga: KDEI Taipei rampungkan laporan peluang kerja sama industri RI-Taiwan
Baca juga: BI: Surplus neraca perdagangan perkuat ketahanan eksternal ekonomi RI
Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2024