"Pemerintah harus memiliki satu badan yang mengurusi hulu hingga hilir industri kelapa sawit," ujar Yeka setelah menyampaikan laporan pencegahan malaadministrasi dalam layanan tata kelola industri kelapa sawit di Gedung Ombudsman RI, Jakarta, Senin.
Yeka menargetkan badan khusus urusan sawit tersebut berada langsung di bawah presiden dan berbentuk Badan Layanan Umum (BLU) guna mewujudkan tata kelola industri kelapa sawit yang berkelanjutan.
Ia meyakini bahwa pengembangan industri kelapa sawit tidak cukup ditangani oleh satuan tugas (satgas) maupun satuan kerja (satker) antarkementerian.
Menurut Yeka, pengembangan industri kelapa sawit memiliki kerumitannya tersendiri, baik dalam hal perizinan hingga penataan lahan sehingga membutuhkan satu komandan berupa satu badan di bawah presiden.
"Tumpang tindih lahan, tumpang tindih perizinan. Semua karena apa? Karena kebijakannya disematkan di masing-masing institusi," kata Yeka.
Baca juga: Pemerintahan Prabowo-Gibran diharapkan memperkuat komoditas sawit
Yeka juga mendasari usulan pembentukan badan urusan sawit tersebut dalam rangka meniru praktik tata kelola sawit di Malaysia. Negeri Jiran tersebut memiliki sebuah badan bernama Malaysian Palm Oil Board (MPOB).
"Indonesia harus memiliki hal yang sama biar bisa mengembangkan industri kelapa sawit," katanya.
Perbaikan tata kelola industri sawit diyakini oleh Ombudsman dapat memberi tambahan nilai ekonomi hingga Rp279 triliun.
Dengan nilai kapasitas industri kelapa sawit yang saat ini senilai Rp729 triliun, Yeka mengatakan seusai perbaikan tata kelola akan meningkat hingga mencapai Rp1.008 triliun.
"Nilai Rp1.0008 triliun itu bukan angka kecil. Sumbangannya kepada APBN pun bisa mencapai Rp150 triliun. Itu layaklah untuk menjadi badan baru," kata Yeka.
Baca juga: Apkasindo minta kelapa sawit tetap di bawah BPDP-KS
Yeka mengatakan badan khusus urusan sawit tersebut perlu diberi kewenangan yang cukup untuk melakukan pengaturan, pembinaan, pendampingan dan pengawasan terkait urusan yang berkaitan dengan industri kelapa sawit.
Kewenangan tersebut diperlukan mengingat permasalahan utama dalam tata kelola industri kelapa sawit adalah karena kebijakan yang mengatur industri kelapa sawit tidak terintegrasi dengan baik sehingga sulit mencapai target yang diharapkan.
"Dengan demikian, kebijakan (pengembangan industri sawit) bisa lebih terukur, lebih diawasi dengan baik, dan pelayanannya saya yakin akan lebih baik," ucapnya.
Baca juga: BPDPKS berdayakan UMKM kembangan produk hilir sawit
Baca juga: Asosiasi optimis pemerintah baru memperkuat hilirisasi industri sawit
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2024